Banner 250 x 200

Tuntunan Shalat ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adha (Bag 2)

|


Pada bagian yang pertama telah disebutkan beberapa tuntunan dalam sholat iedul adha, pada bagian yang kedua ini akan di bahas mengenai tata cara sholat 'ied, dzikir, khutbah dan wajibnya makmum mendengarkan khutbah 'ied...


8. Tata cara pengerjaan Shalat ‘Ied

- Shalat ‘Ied Shalat dua raka’at.

Keterangan:
Yakni dimana pelaksanaannya sebagaimana dengan pelaksanaan shalat lainnya, dimulai dengna takbiratul ihram dan diakhir dengan salam. Hanya saja terdapat takbir tambahan selain takbiratul ihram.

Sandaran hukumnya:
Hadist Abu Waqid Al-Laitsi dan juga hadits An-Nu’man bin Basyir yang keduanya diriwayatkan oleh Imam Muslim. Dimana pada hadits Abu Waqid Al-Laitsi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada raka’at pertama membaca surah,
(( Qaaf ))
Dan pada raka’at kedua membaca:
(( Iqtarabatis-saa`ah wan-syaqal Qamar ))

Dan pada hadits An-Nu’man bin Basyir, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pada raka’at pertama membaca:
(( Sabbihisma Rabbikal-a’laa ))
Dan pada raka’at kedua membaca:
(( Hal ataaka haadiitsul-ghaasyiyah ))

Hadist Umar radhiallahu ‘anhu, beliau berkata, “Shalat jum’at dua raka’at, shalat ‘iedul fithri dua raka’at, shalat ‘iedul adha dua raka’at, shalat safar dua raka’at. Sebagai shalat yang sempurna bukanlah qashar, melalui penyampaian lisan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.“
[Diriwayatkan oleh An-Nasa’i (3/1420 dan 1566) serta di dalam Al-Kubra (1/1733 dan 1734), Ibnu Majah (1/1063), Ahmad (1/37) dan selain mereka]
An-Nawawi di dalam Al-Majmu’ (5/17) dan Ibnu Qudamah didalam Al-Mughni (2/233) mengutip ijma’/konsensus ulama bahwa shalat ‘iedain dua rakat.

- Takbir Tambahan pada shalat ‘Ied (Tujuh takbir pada raka’at pertama dan lima kali takbir pada raka’at kedua) sebelum membaca Al-Fatihah, selain takbiratul ihram dan takbir disaat menuju raka’at kedua.

Sandaran hukumnya:
Hadist Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau berkata, “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertakbir tujuh kali pada raka’at pertama dan lima kali pada raka’at terakhir, selain dua takbir ruku’ “
[Diriwayatkan oleh Ahmad (6/70), Abu Daud (1/1150), Ad-Daraquthni (2/47) dan Al-Baihaqi (3/287) dan selain mereka ].

Hadist Abdullah bin ‘Amru bin Al-‘Ash, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Takbir pada shalat ‘iedul fithri tujuh kali pada raka’at pertama dan lima kali pada raka’at terakhir. Dan membaca Al-Fatihah setelah kedua takbir tersebut. “
[HR. Abu Daud (1/1151), Ad-Daraquthni (2/48), Al-Baihaqi (3/285), dan selainnya]

Terdapat perbedaan ulama dalam takbir tambahan pada shalat ‘Iedain. Namun riwayat yang shahih menunjukkan bahwa takbir tambahan adalah tujuh kali pada raka’at pertama dan lima kali pada raka’at kedua. Adapun selain itu, sandarannya tidaklah shahih dari sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Demikian juga takbir tambahan ini adalah selain takbiratul ihram, berdasarkan riwayat lainnya pada hadits Abdullah bin ‘Amru bin Al-‘Ash dengan lafazh, “selain takbiratul ihram,” yang dishahihkan oleh beberapa imam ahlil Hadist, diantara mereka adalah Imam Ahmad dan Al-Bukhari.

- Apakah Mengangkat tangan disaat takbir ?

Keterangan:
Perihal mengangkat tangan disaat takbir tambahan, terdapat perbedaan dikalangan ulama. Diantara mereka ada yang membolehkan mengangkat tangan sebagaimana mengangkat tangan pada takbiratul ihram. Dan ini merupakan pendapat Asy-Syafi’i, Ahmad, Abu Hanifah, Al-Auza’i, Atha’, Ibnul Mundzir, Al-Bukhari dan selain mereka.
Sedangkan ulama lainnya, diantara mereka adalah Ats-Tsauri, Ibnu Abi Laila, Abu Yusuf, Malik bin Anas dan Ibnu Hazm azh-Zhahiri berpendapat untuk tidak mengangkat tangan selain hanya pada takbiratul ihram.

Dan masing-masing madzhab diatas berargumen dengan dalil dari atsar dan juga logika. Adapun dari atsar (hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan dari sahabat), hampir semua jalan periwayatannya terdapat kritikan dan diperbincangkan oleh ulama. Bahkan tidak satupun yang shahih diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam , berkaitan dengan masalah ini.

Sementara dari tinjauan logika, disebutkan oleh Asy-Syafi’i, Al-Kasaani dan selain mereka, bahwa tujuan dari takbir adalah pemberitahuan takbir tambahan bagi yang tidak dapat mendengar, karena tuli atau karena jauh dari Imam sehingga tidak mendengar suara takbir imam. Logika ini cukup kuat untuk dijadikan alasan bagi yang membolehkan mengangkat tangan ketika takbir.

Adapun yang menolak mengangkat tangan disaat takbir, berargumen tidak adanya atsar dari sahabat yang shahih bahwa mereka melakukannya, … sementara mengangkat tangan disaat takbir adalah ibadah, terlebih didalam shalat. Yang harus berpedoman kepada dalil syara’.

Kesimpulannya : Tidak mengapa mengangkat tangan pada takbir tambahan dan tidak juga sepatutnya bagi yang berpendapat tidak mengangkat tangat ketika takbir tambahan mengingkari hal tersebut, apalagi hingga dikategorikan sebagai bid’ah. Wallahu a’lam.

- Dzikir yang dibaca diantara dua takbir tambahan.

Keterangan:
Berkaitan dengan masalah ini, tidak satupun hadits yang shahih maupun dha’if yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan adanya dzikir diantara dua takbir tambahan. Bahkan tidak satupun atsar dari sahabat yang shahih dalam masalah ini. Pendapat ini merupakan pendapat Malik bin Anas dan Al-Auza’i.
Adapun sebagian ulama lainnya membolehkan adanya dzikir diantara dua takbir. Diantara yang membolehkan adalah Atha’, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ibnul Mundzir dan juga merupakan pendapat yang diperbolehkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Mereka berdalilkan atsar yang diriwayatkan dari Atha’ dan Makhul.

Catatan:
Seiring dengan perbedaan pendapat diatas, demikian juga dengan bacaan/dzikir yang dibacakan antara dua takbir tambahan. Apakah ada bacaan dzikir tertentu atau tidak?
Imam Asy-Syafi’i didalam Al-Umm (1/395) menyebutkan, “Bahwa diamnya seseorang diantara dua takbir tambahan, seukuran membaca sebuah ayat yang tidak panjang dan juga tidak pendek. Lalu dia membaca tahlil, takbir dan tahmid … “
Berkata Imam Ahmad pada “ Su`alaat Ibnu Hani` “ ( hal. 93 ), “ Dia bertasbih , bertahlil dan membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Dan sekali waktu beliau mengatakan, “Shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu setiap doa yang diucapkannya juga baik.”
Jadi diperbolehkan dengan dzikir yang berupa tahlil, tahmid, tasbih, shalawat serta doa apapun diantara dua takbir tambahan. Wallahu a’lam.

- Bacaan Surah Al-Fatihah dan Surah setelahnya, dibacakan dengan suara nyaring.

Keterangan:
Diantara sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada shalat ‘Ied adalah membaca surah Qaaf atau Al-A’laa pada raka’at pertama dan surah Al-Qamar atau Al-Ghasyiah pada raka’at kedua.

Sandaran hukumnya:
Hadist Abu Waqid Al-Laitsi radhiallahu ‘anhu, beliau ditanya, “Surah apakah yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada shalat ‘Iedul fithri dan ‘Iedul adha ?”
Beliau menjawab, “Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pada kedua shalat tersebut membaca:
(( Qaaf ))
Dan:
(( Iqtarabatis-saa`ah … ))
(HR. Muslim no. 891)

Dan pada hadits An-Nu’man bin Basyir, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada shalat ‘Iedain dan shalat jum’at membaca:
(( Sabbihisma Rabbikal-a’laa ))
Dan:
(( Hal ataaka hadiitsul-ghaasyiyah ))

Kedua hadits diatas, dijadikan sandaran hukum juga oleh sebagian ulama, bahwa bacaan pada shalat ‘Iedain adalah bacaan yang dibaca dengan jahar/suara keras. Mereka mengatakan:
1. Sahabat tidaklah mengetahui bacaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada shalat ‘Iedain kecuali jika beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjaharkan bacaannya.

2. Pada hadits An-Nu’man, sifat bacaan shalat ‘Iedain disetarakan dengan sifat bacaan pada shalat jum’at.

3. Shalat ‘Iedain adalah shalat jama’ah dengan khutbah yang dapat dianalogikan dengan shalat jum’at yang juga dengan khutbah.

Pendapat mengeraskan bacaan pada shalat ‘Iedain adalah pendapat Malik, Asy-Syafi’i dan sebagian besar ulama Islam. Ibnu Qudamah di dalam Al-Mughni (2/336) mengatakan, “Saya tidak mengetahui ada perbedaan pendapat dalam masalah ini, kecuali yang diriwayatkan dari Ali.”

Sedangkan hadits ‘Ali adalah hadits yang dha’if. Pada sanadnya terdapat Al-Aslami dia perawi yang matruk (ditinggalkan). Dan sanad lainnya terdapat Al-Harits seorang perawi yang dha’if.
Diantara ulama yang juga mengutip ijma’ seperti pernyataan Ibnu Qudamah: Az-Zarkasyi dan Al-Qurthubi.

9. Khutbah Al-‘Iedain

- Khutbah ‘Ied dilakukan setelah shalat.

Keterangan:
Yang wajib adalah mendahulukan shalat baru selanjutnya khathib khutbah pada hari ‘Iedain.

Sandaran hukumnya:
Hadist yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, dari hadits Ibnu Abbas, beliau berkata, “Saya telah menyaksikan shalat ‘Ied bersama dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam , Abu Bakar, Umar dan Utsman radhiallahu’anhum, semuanya mengerjakan shalat sebelum khutbah.”
Demikian juga hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam , Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhuma mengerjakan shalat ‘Iedain sebelum khutbah“ ( HR. Al-Bukhari dan Muslim ).

Imam Muslim didalam Shahihnya meriwayatkan hadits Jabir, beliau berkata, “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan shalat pada hari ‘iedul fithri, dimana beliau memulai shalat sebelum khutbah. Setelah beliau menyelesaikan khutbah, beliau lantas mendatangi wanita dan mengingatkan mereka. Beliau bersandar kepada Bilal, smeentara Bilal menghamparkan pakaian beliau , dan para wanita melemparkan sedekah mereka.”
Juga semisalnya diriwayatkan dari hadits Abu Said Al-Khudri (Muttafaq ‘alaihi).

- Sunnah mengerjakan Khutbah sambil berdiri diatas tanah.

Keterangan:
Terdapat beberapa hadits yang menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam khutbah ‘Ied diatas tanah, tanpa berdiri diatas mimbar.

Diantaranya hadits Abu Sa’id Al-Khudri, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar untuk mengerjakan shalat ‘Iedul fithri atau ‘Iedul adha di mushalla/lapangan. Kemudian beliau melewati kaum wanita, maka beliau bersabda: “ Wahai kaum wanita bersedekahlah kalian, karena sesungguhnya saya telah melihat penghuni neraka adalah kalian … “
( HR. Al-Bukhari dan Muslim )

Pada lafadz lainnya, “ … lalu beliau memulai dengan shalat, setelah beliau shalat dan mengucapkan salam, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam lantas menghadap kepada kaum muslimin, sementara mereka duduk di tempat mereka … “
Juga hadits Ibnu Abbas yang telah disebutkan sebelumnya, beliau ditanya, “ Apakah anda menyaksikan shalat ‘Ied bersama dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ?”

Beliau mengatakan, “ Iya, seandainya bukan karena keberadaan saya disisi beliau tidaklah saya menyaksikannya- yaitu karena usia beliau yang masih kecil- lalu beliau mendatangi gundukan tanah yang berada didekat kediaman Katsir bin Ash-Shalat, lalu beliau khutbah. Kemudian beliau mendatangi kaum wanita, menasihati mereka, dan memerintahkan mereka untuk berdedekah … “
( HR. Al-Bukhari dan selainnya )

Catatan:
Pada hadits diatas menunjukkan pula sunnahnya bersedekah pada hari ‘Ied, terutama bagi kaum wanita.

- Khutbah ‘Ied terdiri atas dua kali Khutbah.

Keterangan:
Khutbah ‘Ied adalah dua kali khutbah diselingi dengan duduk diantara dua khutbah. Berkata Imam Abu Muhammad Ibnu Hazm rahimahullah, “ … Apabila imam telah salam, maka imam berdiri untuk khutbah kehadapan kaum muslimin dengan dua kali khutbah diselingi dengan duduk diantaranya, … -lalu beliau berkata : - “dan pada masalan ini tidak terdapat perbedaan pendapat diantara ulama “ (Al-Muhalla 5/82)

Adapun hadits-hadits yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam , tidak satupun yang shahih menunjukkan adanya dua kali khutbah ‘Ied. Namun sebagian ulama hadits seperti An-Nasaa’i didalam Al-Kubra yang mencantumkan hadits dua kali khutbah jum’at pada bab. Khutbah ‘Iedain, demikian juga dengan Ibnu Khuzaimah (2/349) yang mencantumkan hadits khutbah jum’at dari hadits Ibnu Umar pada masalah khutbah ‘Iedain. Isyarat bahwa khutbah ‘Ied semisal dengan khutbah jum’at.
- Mengawali Khutbah dengan bacaan “ Innal Hamda lillah … dst “

Keterangan:
Berkaitan dengan sebagian besar yang diamalkan oleh kaum muslimin/para khathib shalat ‘Ied, yakni bertakbir sembilan kali diawal khutbah ‘Ied, amalan tersebut merupakan pendapat dari Malik bin Anas, Asy-Syafi’i, Ahmad dan selain mereka. Sebagian besar pendapat yang mereka utarakan, bahwa khathib pada khutbah pertama bertakbir sembilan kali dan pada khutbah yang kedua bertakbir tujuh kali takbir.
Bahkan Imam Malik menambahkan bahwa kaum muslimin bertakbir bersama dengan imam.
Argumen mereka sebagai berikut:

1. Hadist ‘Ubaidullah bin Abdullah bin’Utbah, beliau berkata, “Termasuk sunnah bertakbir diatas mimbar pada hari ‘Ied ketika memulai khutbah pertama dengan sembilan takbir sebelum khutbah dan pada khutbah selanjutnya dengan tujuh kali takbir.” [Hadist ini diriwayatkan oleh Abdurrazzaq (5672, 5673, 3674), Ibnu Abi Syaibah (5865), Al-Baihaqi (3/299). Hadist ini didalamnya terdapat perawi yang matruk]

2. Bahwa pada hari itu adalah hari takbir, olehnya itu disyari’atkan untuk memulai takbir disaat memulai khutbah ‘Ied.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan juga murid beliau Ibnul Qayyim rahimahullah kedua berpendapat bahwa yang sunnah adalah memulai dengan ucapan: “ Innalhamda lillah … “ tanpa takbir diawal khutbah ‘Ied. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah memulai khutbah beliau dengan selain ucapan tersebut. Pendapat kedua imam ini lebih tepat kiranya, dengan mengacu dha’ifnya hadits diatas.

Adapun argumen kedua, mungkin dapat dijawab, -jikalau benar adanya – maka hanya berlaku untuk ‘Iedul adha, disebabkan takbir pada ‘Iedul fithri berakhir disaat imam khutbah. Akan tetapi khutbah ‘Ied tidaklah menjadi batal karena hal ini, dan tidak juga diingkari bagi yang melakukannya. Wallahu a’lam.

- Menghadiri Khutbah ‘Ied wajib menurut pandangan yang shahih dari Ulama.

Keterangan:
Sebagian besar ulama Madzahib berpendapat menghadiri khutbah ‘Ied sunnah, dan tidak sampai ke derajat wajib.

Ulama tersebut berargumen dengan hadits Abdullah bin As-Saa`ib radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan shalat ‘Ied, lalu beliau bersabda, “Barang siapa yang menyenangi untuk berpaling, maka tidak mengapa baginya untuk berpaling. Dan barang siapa yang menyenangi untuk menyimak khutbah hndaknya dia menyimak.“
[Hadist ini diriwayatkan oleh An-Nasaa’i (3/1571) dan didalam Al-Kubra (1/1779), Abu Daud (1/1155), Ibnu Majah (1/1290), Al-Hakim (1/295), Ibnu Khuzaimah (2/1462) dan selain mereka].

Hadist ini yang shahih adalah hadits mursal. Sebagaimana yang disebutkan oleh An-Nasa’i, Abu Daud, Ibnu Khuzaimah dan demikian juga Abu Zur’ah Ar-Razi merajihkan bahwa hadits diatas adalah hadits yang mursal. ( Al-‘Ilal 1/513 dan Fathul Bari karya Ibnu Rajab 9/48–49).

Dan juga diriwayatkan dari mursal Atha’, semakna dengan hadits diatas.
Sementara itu, diriwayatkan dari Imam Malik dan Imam Ahmad pendapat yang menyiratkan wajibnya menghadiri khutbah ‘Ied. Bahkan Imam Malik melarang kaum wanita dan hamba sahaya untuk berpaling meninggalkan khutbah ‘Ied.

Diantara argumen mereka adalah hadits-hadits yang menyebutkan bahwa khutbah ‘Ied adalah bagian dari syi’ar ‘Ied. Dan juga seiring dengan pendapat yang mewajibkan kaum muslimin bahkan kaum wanita untuk menghadiri shalat ‘Ied, menyaksikan berkah dan da’wah kaum muslimin, dimana hal tersebut akan dijumpai disaat khutbah ‘Ied.
Wallahu a’lam.

- Disunnahkan duduk diam dan mendengarkan Khutbah ‘Ied

Keterangan:
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Ummu ‘Athiyah, beliau berkata: “ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memerintahkan kepada kami mengajak kaum wanita keluar pada hari ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adha, yakni wanita-wanita yang telah berusia lanjut, wanita yang dalam keadaan haidh dan juga gadis belia. Adapun wanita yang dalam keadaan haidh maka mereka diperintahkan untuk memisahkan diri dari mushalla ‘ied, dan menyaksikan kebaikan yang ada pada hari itu serta menyaksikan dakwah kaum muslimin.”
“ Menyaksikan dakwah kaum muslimin … “ dijelaskan oleh Ibnu Rajab yakni khutbah ‘Ied.
Hanya saja, sebagian ulama memandang tidak wajib untuk diam mendengarkan khutbah ‘Ied. Dan hanya sebatas sunnah. Karena jika dianggap wajib maka akan mengharuskan pula wajibnya menghadiri khutbah ‘Ied, sementara sebagian besar ulama berpendapat tidak wajibnya, seperti yang telah dikemukakan diatas.

Faidah :
Hukum bersalaman dan tahni`a setelah shalat ‘Ied
Diriwayatkan dari atsar Abdullah bin Busr, Abdurrahman bin ‘Aidz, Jubair bin Nadhir dan Khalid bin Mi’dan, “Bahwa diucapan kepada mereka ucapan: Taqabbalallahu minna wa minkum ( semoga Allah menerima amalan kami dan kalian), dan juga mereka mengucapkanya kepada selain mereka.“
(Diriwayatkan oleh Al-Ashbahani didalam At-Targhib (1/381) dengan sanad yang tidak mengapa)

Berdasarkan atsar ini pula, pembolehan mengucapkan ucapan tersebut merupakan amalan yang sunnah.

Dan tidak mengapa mengucapkan ucapan selain ucapan diatas, disebabkan tidak adanya hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menerangkan hal tersebut, baik apakah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengamalkanya atau melarangnya. Yang ada hanyalah amalan sejumlah sahabat radhiallahu ‘anhum.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, didalam Majmu’ Al-Fatawa (24/253) , membolehkannya dengan ucapan diatas dan juga yang semisalnya.

Adapun Imam Ahmad, driwayatkan bahwa beliau membolehkannya hanya saja beliau tidak memulainya. Namun jika ada yang memulai maka beliau menjawabnya. (Al-Furu’ 2/150).

Wallohu'alam

Read More......

Tuntunan Shalat ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adha (Bag 1)

|


Sebentar lagi Idul adha akan tiba, dan pada hari ied, baik iedul fitri maupun iedul adha di sunnahkan untuk mengerjakan sholat ied, penting bagi kaum muslimin untuk mengetahui tuntunan dalam melaksanakan sholat ied agar ibadah kita di terima dan sesuai dengan tuntunan Rasululloh Salallohu'alaihi wassalam...

1. Hukum Shalat Al-’Iedain ( Shalat dua hari Raya )
Keterangan:
Terdapat perbedaan pendapat dikalangan Ulama Islam seputar hukum shalat ‘Iedain , baik itu shala ‘Iedul Fithri ataukah shalat ‘Iedul Adha. Sebagian Ulama berpendapat shalat ‘Iedain adalah termasuk diantara shalat-shalat yang sunnah. Sebagian lainnya berpendapat shalat ‘Iedain fardhu kifayah dan yang lainya berpendapat shalat ‘Iedain shalat yang fardhu ‘ain.

Pendapat yang terakhir ini, adalah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang merupakan madzhab Imam Abu Hanifah, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Bahkan Imam Asy-Syafi’i, sebagaimana didalam Mukhtashar Al-Muzani, menyatakan, “Barang siapa yang diwajibkan baginya shalat jum’at maka wajib pula untuk menghadiri shalat ‘Ied.”

Pendapat ini juga merupakan pendapat Ash-Shan’ani dan Shiddiq Hasan Khan.
Diantara dalil yang menunjukkan wajibnya shalat ‘Iedain:

- Dalam hadist Nabi shallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan perintah beliau kepada kaum wanita, bahkan bagi yang dalam keadaan haidh, untuk menghadiri shalat ‘Iedain. Kemudian bagi wanita yang haidh mundur di bagian belakang shaf wanita disaat shalat didirikan.

- Perintah Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam bagi para sahabat untuk mengerjakan shalat ‘Iedain, dan juga beliau turut mengerjakannya, serta para Khalifah sepeninggal beliau dan kaum muslimin hingga zaman ini. Bahkan tidak ada satupun negeri Islam yang meninggalkan pengerjaan shalat ‘Iedain.

- Demikian pula jika shalat ‘Iedain bertepatan dengan shalat jum’at, maka shalat jum’at menjadi gugur kewajibannya. Dan seperti ini tidaklah mungkin dipahami kecuali bahwa shalat ‘Iedain merupakan shalat yang wajib. Uraiannya akan disebutkan pada pembahasan berikutnya insya Allah.

2. Waktu Pengerjaan Shalat ‘Ied.

Keterangan:
Disenangi untuk menyegerakan pengerjaan shalat ‘ied. Dan yang paling utama, seseorang telah mendatangi mushalla ‘ied disaat matahari baru saja terbit, dan jika dapat dilakukan sebelum itu, maka lebih utama lagi.
Diantara dalil-dalil yang menunjukkan hal tersebut, adalah amalan para sahabat radhiallahu ‘anhum:

1. Atsar Abdullah bin Umar. Berkata Nafi’, “Ibnu Umar biasanya mengerjakan shalat shubuh di masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian beliau berangkat menuju mushalla ‘ied.“ [HR. Ibnu Abi Syaibah (1/ 5609) dan juga Ibnul Mundzir didalam Al-Ausath (4/260) ]

2. Atsar Salamah bin Al-Akwa’. Dari jalan Yazid bin Abu’Ubaid, dia berkata, “Saya telah mengerjakan shalat shubuh bersama Salamah bin Al-Akwa’ di masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian saya keluar bersama beliau ke mushalla dan saya duduk hingga imam datang.”

3. Dan beberapa atsar juga dari ulama Tabi’in, diantaranya atsar Umar bin Abdul Azis, Abu Abdirrahman As-Sulami, Ibrahim An-Nakha’i dan selain mereka.

3. Hukum Shalat ‘Ied bagi Musafir dan bagi orang sakit

Keterangan:
Adapun bagi musafir, maka tidak diwajibkan baginya mengerjakan shalat ‘Iedain. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, setelah menyebutkan tiga pendapat ulama dalam masalah ini, salah satu diantaranya –yaitu pendapat pertama-, Bahwa mukimnya seseorang adalah syarat wajibnya shalat ‘Ied dan juga shalat jum’at. Dan ini merupakan pendapat mayoritas Ulama. Merupakan pendapat didalam madzhab Abu Hanifah, Malik bin Anas dan Ahmad pada riwayat beliau yang paling shahih.

Alasannya: Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak sekalipun mengerjakan shalat dan khutbah ‘Iedain dan jum’at di saat beliau besafar. Tidaklah beliau mengerjakan shalat ‘Ied di Mina, dan sewaktu Futuh Makkah yang pada saat itu terjadi di bulan Ramadhan, hingga datangnya hari ‘Ied, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah mengerjakan shalat ‘Iedul Fithri. Demikian juga para khalifah sepeninggal beliau.

Sedangkan bagi seorang yang sakit, maka dia beroleh udzur tidak menghadiri shalat ‘Iedain di Mushalla ‘Ied, jikalau tidak sanggup untuk bangkit dan berdiri berjalan menuju mushalla ‘ied. Dan bagaimanakah seorang yang sakit dan yang mempunyai udzur mengerjakan shalat pada hari ‘Iedain? Pembahasannya akan disebutkan pada poin yang ketujuh, insya Allah.

4. Hukum Shalat ‘Ied bagi wanita

Keterangan:
Shalat ‘Ied bagi wanita hukumnya wajib.
Sandaran hukumnya:
Imam Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan didalam kitab Shahih mereka berdua dari hadits Ummu ‘Athiyah, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memerintahkan kepada kami mengajak kaum wanita keluar pada hari ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adha, yakni wanita-wanita yang telah berusia lanjut, wanita yang dalam keadaan haidh dan juga gadis belia. Adapun wanita yang dalam keadaan haidh maka mereka diperintahkan untuk memisahkan diri dari mushalla ‘ied, dan menyaksikan kebaikan yang ada pada hari itu serta menyaksikan dakwah kaum muslimin.”
Saya bertanya: “Wahai Rasulullah, salah seorang diantara kami tidak mempunyai jilbab.”

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Saudaranya meminjamkan jilbabnya baginya.”

5. Sunnah mengerjakan Shalat Al-‘Iedain dikerjakan di lapangan terbuka ( Mushalla )

Keterangan:
Termasuk diantara Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah keluar mengerjakan shalat ‘Iedain (‘iedul fithri dan ‘iedul adha) di lapangan terbuka (mushalla), kecuali jika ada udzur.

Sandaran hukumnya :
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri, beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasanya keluar pada hari ‘iedul fithri dan ’iedul adha menuju mushalla. Dan yang pertama kali beliau kerjakan adalah shalat, setelah itu beliau berbalik menghadap kepada kaum muslimin, dimana mereka duduk di shaf-shaf mereka. Lalu beliau menasihati dan memberi wasiat kepada mereka serta memerintahkan kepada mereka .. “
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “ Tidaklah seorangpun dari kaum muslimin mengerjakan shalat ‘ied di masjid kabilahnya dan tidak juga dirumahnya. Sebagaimana mereka tidaklah mengerjakan shalat jum’at di masjid-masjid kabilah.“ (Majmu’ Al-Fatawa 4/480)

Berkata Ibnul Mundzir didalam Al-Ausath (4/257), “Termasuk sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah keluarnya kaum muslimin menuju lapangan ‘ied (mushalla) untuk mengerjakan shalat ‘ied. Apabila sebagian kaum tidak kuasa untuk keluar ke lapangan, maka imam memerintahkan seseorang untuk menjadi imam shalat di masjid bagi kaum yang lemah tersebut.“

6. Hal-hal yang Sunnah sebelum pelaksanaan Shalat ‘Ied

- Mandi sebelum menuju Mushalla ‘Ied

Keterangan:
Disunnahkan untuk mandi sebelum menuju Mushalla ‘Ied.

Sandaran hukumnya:
Atsar dari Abdullah bin ’Umar radhiallahu ‘anhuma, yang diriwayatkan oleh Imam Malik dari Nafi’, beliau berkata, “Ibnu Umar senantiasa mandi pada hari ‘Iedul Fithri sebelum beliau menuju ke mushalla ‘ied.”

Atsar ini juga diriwayatkan oleh Abdurrazzaq didalam Mushannaf beliau, Asy-Syafi’i didalam Al-Umm dan Al-Musnad serta selainnya.

Sebagian ulama bahkan menyatakan adanya konsensus diantara ulama Islam bahwa mandi sebelum menuju mushalla ‘ied adalah perbuatan yang baik dan sunnah. Diantara mereka Ibnu Abdil Barr didalam Al-Istidzkar, An-Nawawi didalam Al-Majmu’ dan Ibnu Rusyd didalam Bidayah Al-Mujtahid.

Adapun waktu mandi ‘Ied, yang paling utama adalah setelah shalat shubuh/setelah waktu fajar. Dikarenakan pengandaian mandi ‘Ied berlaku pada hari dimana dikerjakan shalat ‘Ied. Adapun bagi yang mandi pada malam sebelumnya, maka tidaklah mengapa, jika bertujuan untuk bersegera menuju mushalla ‘Ied pada pagi harinya. Wallahu a’lam.

- Disunnahkan Berhias dan Memakai wangi-wangian sebelum menuju mushalla ‘Ied.

Keterangan:
Berdasarkan atsar dari Abdullah Ibnu Umar, dari jalan Muhammad bin Ishaq dia berkata: Saya bertanya kepada Nafi’, “Apakah yang diperbuat oleh Abdullah bin Umar pada hari ‘Ied ?”
Beliau mengatakan, “Beliau menghadiri shalat jama’ah shubuh bersama imam, kemudian beliau kembali ke rumah beliau,dan mandi sebagaimana beliau mandi janabah, kemudian memakai pakaian terbaik yang beliau miliki, memakai wangi-wangian yang paling harum yang beliau punyai, kemudian barulah setelah itu beliau mendatangi mushalla ‘ied. Beliau duduk hingga imam datang. Apabila imam telah tiba, maka beliau mengerjakan shalat bersama imam. Setelah itu beliau pulang, dan masuk ke dalam masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengerjakan shalat dua raka’at. Kemudian beliau mendatangi rumah beliau.”
Atsar ini diriwayatkan oleh Al-Harits didalam Musnad beliau (sebagaimana di dalam Bughyah Al-Baahits 1/323 dan juga Al-Mathalib Al-‘Aliyah 1/305 ).

- Disunnahkan memakan kurma sebelum keluar mengerjakan shalat ‘Ied Fithri , berbeda dengan shalat ‘Iedul Adha.

Keterangan:
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari didalam Ash-Shahih (no.953), dari hadits Anas, beliau mengatakan, “ Tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beranjak ke mushalla ‘ied pada pagi hari sehingga beliau memakan beberapa butir kurma.”

Dan juga hadits Buraidah, Beliau mengatakan, “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah keluar untuk mengerjakan shalat ‘iedul fitri hingga beliau makan, dan tidaklah beliau makan pada ‘iedul adha hingga beliau mengerjakan shalat –terlebih dahulu.“
( HR. At-Tirmidzi (2/542), Ibnu Majah (1/1756), Ahmad (5/352, 360 ), Al-Hakim (1/294) dan selainnya).

Sanad hadits ini dha’if disebabkan perawi bernama Tsawwab bin ‘Utbah Al-Mahri.
Namun hadits Buraidah diatas dikuatkan oleh beberapa atsar, diantaranya yang diriwayatkan oleh Imam Malik didalam Al-Muwaththa` (432) dari jalan Ibnu Syihab Az-Zuhri, dia mengatakan, Sa’id bin Al-Musayyab mengatakan, “Bahwa kaum muslimin telah diperintahkan untuk makan sebelum beranjak ke mushalla pada ‘iedul fithri.”
Dan juga atsar dari Asy-Sya’bi, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (1/5590), beliau berkata, Husyaim menceritakan kepada kami, dia berkata, Al-Mughirah menceritakan kepada kami dari Asy-Sya’bi, beliau mengatakan, “Termasuk Sunnah jika seseroang makan pada hari ‘iedul fithri sebelum berangkat ke mushalla dan mengakhirkan makan pada ‘iedul adha setelah kembali dari mushalla.”
Demikian semakna dengan kedua atsar tersebut, diriwayatkan juga dari Az-Zuhri.

- Disunnahkan Bertakbir disaat menuju Mushalla ‘Ied dan sunnah mengeraskan takbir

Keterangan:
Bertakbir disaat menuju mushalla ‘Ied adalah amalan yang sunnah, dan telah diriwayatkan dari beberapa sahabat dan tabi’in yang mengamalkan amalan ini. Adapun riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka tidak ada satupun hadits yang shahih.

Diantara atsar-atsar tersebut, adalah atsar Abdullah bin Az-Zubair, Sa’id bin Jubair, Abdurrahman bin Abi Laila, Al-Hakam, Hammad, Urwah bin Az-Zubair dan selainnya.

Disunnahkan pula untuk mengeraskan suara ketika bertakbir menuju mushalla ‘Ied. Allah Ta’ala berfirman:

”Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” ( Al-Baqarah : 185 )

Berkata Ibnu Qudamah (2/226), “Makna menampakkan takbir adalah dengan mengeraskan suara ketika bertakbir.“

Catatan 1:
Adapun hukum asal takbir adalah firman Allah Ta’ala:
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” ( Al-Baqarah : 185 )

Dan firman Allah :
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Dan kedua ayat tersebut berlaku umum serta tidak adanya hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan tata cara serta lafazh takbir tertentu, maka dalam hal ini diperbolehkan bertakbir dengan lafadz takbir manapun tanpa adanya pengingkaran.

Catatan 2:
Dan takbir di mushalla ‘Ied juga berlaku bagi laki-laki dan wanita. Berdasarkan hadits Ummu ‘Athiyah. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Rajab didalam Fathul Bari (9/33)

Catatan 3:
Takbir pada ‘Iedul Adha lebih ditegaskan dari pada ‘Iedul Fithri. Dikarenakan takbir pada ’Iedul adha disyari’atkan pada setiap akhir shalat pada hari ‘Ied dan hari-hari tasyriq ( tiga hari setelah ‘Ied ).
Demikian yang dirajihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ( Al-Fatawa 24/221–222).

- Disunnahkan Berjalan kaki menuju Mushalla ‘Ied

Sandaran hukumnya:
Beberapa hadits yang menerangkan hal ini adalah hadits-hadits yang dha’if, baik karena hafalan perawinya atau karena riwayat mereka yang diperbincangkan oleh ulama hadits. Namun ada sejumlah atsar yang shahih menyebutkan sunnahnya berjalan kaki menuju mushalla ‘ied, diantaranya atsar Al-Hasan bin ‘Ali, Ibrahim An-Nakha’i dan Umar bin Abdul Azis.

Ibnul Mundzir mengatakan, “Berjalan kaki menuju shalat ‘ied lebih baik, dan lebih dekat kepada sifat tawadhu’ (kerendahan hati). Dan tidak mengapa seseorang berkendara menuju mushalla. “ (Al-Ausath 4/264).

At-Tirmidzi setelah menyebutkan hadits ‘Ali (yang dha’if disebabkan riwayat ‘an’anah Abu Ishaq serta Al-Harits yang merupakan perawi yang dha’if ) mengatakan, “Hadist ini diamalkan oleh sebagian besar ulama. Mereka menyukai seseorang keluar menuju mushalla ‘ied sambil berjalan dan makan sesuatu sebelum menuju mushalla ‘ied. Dan disenangi tidak berkendara menuju mushalla kecuali jika ada udzur.” (As-Sunan 2/411).
An-Nawawi mengatakan, “Berjalan kaki lebih utama, namun jika seseorang berkendara ketika pulang dari mushalla maka hal tersebut tidak mengapa. Karena tidak memaksudkan lagi ibadah kepada Allah.“ (Al-Majmu’ 5/10–11)

Dengan demikian, jika seseorang memungkinkan berjalan kaki menuju mushalla ‘ied dan tidak memberatkannya atau menjadikannya terlambat menghadiri shalat ’ied, disunnahkan untuk berjalan kaki. Namun jika sampai menjadikann terlambat menghadiri shalat atau menyulitkannya maka tidak mengapa sambil berkendara. Wallahu a’lam bish-shawab.

- Disunnahkan menyertakan anak-anak untuk menghadiri shalat ‘Ied.

Sandaran hukumnya:
Hadist yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no.977), dari jalan Sufyan dari Abdurrahman bin Abbas, beliau berkata, Saya telah mendengar dari Ibnu Abbas, dimana beliau ditanya, “Apakah anda turut serta menyaksikan shalat ‘ied bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam?” Beliau berkata, “Iya, seandainya bukan karena keberadaan saya yang masih kecil niscaya saya tidak akan menyaksikannya… “
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Bahwa perkataan beliau, “seandainya bukan karena keberadaan saya yang masing kecil, niscaya saya tidak akan menyaksikannya ..“ yaitu menyaksikan nasihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kaum wanita, disebabkan anak kecil masih ditolerir untuk berada disekitar kaum wanita berbeda dengan laki-laki dewasa.“

- Disunnahkan menyelisihi jalan disaat menuju dan disaat kembali dari Mushalla ‘Ied

Sandaran hukumnya:
Hadist yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari hadits Jabir radhiallahu ‘anhu, beliau berkata, “Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi shalat ‘Ied, beliau menyelisihi jalan-berangkatnya- “
Dan juga diriwayatkan dari hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata, “Bahwa apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam keluar mendatangi shalat ‘Ied, beliau pulang melewati jalan selain jalan yang beliau lewati ketika berangkat “
[ HR. At-Tirmidzi (2/541), Ibnu Majah (1/1301), Ahmad (2/338), Al-Hakim (1/296) dan selainnya ].

7. Shalat ‘Ied bagi yang mempunyai udzur tidak dapat menuju Lapangan/Mushalla ‘Ied.

Keterangan:
Telah disinggung sebelumnya, bahwa seorang yang sakit atau mempunyai udzur, diperbolehkan untuk tidak menghadiri mushalla ‘ied.
Berkata Ibnul Mundzir didalam Al-Ausath (4/257), “Termasuk sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah keluarnya kaum muslimin menuju lapangan ‘ied (mushalla) untuk mengerjakan shalat ‘ied. Apabila sebagian kaum tidak kuasa untuk keluar ke lapangan, maka imam memerintahkan seseorang untuk menjadi imam shalat di masjid bagi kaum yang lemah tersebut.“

Sandaran hukumnya:
Hadist Ali bin Abi Thalib, dimana beliau memerintahkan seseorang sebagai ganti imam shalat bagi orang-orang yang tua renta lagi lemah di masjid.
Hadist ini ada beberapa jalan periwayatanya, sebagian sanadnya shahih sebagian lagi sanadnya hasan insya Allah, sebagian lagi ada perbincangan dikalangan ulama.
Namun pada hadits tersebut terdapat perbedaan pada beberapa lafazhnya, ada yang menyebutkan “ imam mengerjakan empat raka’at “dan riwayat lainnya, “ mengerjakan dua raka’at “.

Yang shahih, dari kedua lafadz tersebut adalah, “ imam mengerjakan dua raka’at.“ Dan ini semisal dengan hadits Anas bin Malik, yang menyebutkan bahwa beliau mengerjakan shalat bersama keluarga beliau dua raka’at, jika beliau tertinggal shalat ‘ied bersama imam.


Read More......

JADILAH PEJUANG...!!!

|



Kabar gembira akan kemenangan Islam telah tersebar dimana-mana, al-hamdu lillah. Hari demi hari terdengar kabar kekalahan musuh Islam di berbagai penjuru dunia. Janji Alloh Subhanahu Wa Ta'ala benar-benar telah mendarat di bumi realita.

“Dan sesungguhnya telah tetap janji Kami kepada hamba-hamba Kami yang menjadi rasul, (yaitu) sesungguhnya mereka itulah yang pasti mendapat pertolongan. Dan sesungguhnya tentara Kami itulah yang pasti menang.” [QS. ash-Shaffāt (37): 171-173]

Semua pertolongan itu adalah semata-mata anugerah Alloh Subhanahu Wa Ta'ala. Hadir karena Alloh Subhanahu Wa Ta'ala Maha kuat lagi Maha perkasa. Beruntung sekali orang-orang yang Alloh Subhanahu Wa Ta'ala pilih menjadi pejuang-Nya.

“Alloh telah menetapkan:“Aku dan rasul-rasul-Ku pasti menang”. Sesung-guhnya Alloh Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” [QS. al-Mujādilah (58): 12]

Sesuai hikmah-Nya, di setiap kemenangan Islam tersebut pasti ada pahlawannya. Melalui tangan dan kiprah para pejuang (pahlawan) tersebut, Alloh Subhanahu Wa Ta'ala menampakkan sunnah-sunnah-Nya. Mereka adalah orang-orang yang menunaikan janji mereka kepada Alloh Subhanahu Wa Ta'ala, menjadi pejuang di jalan-Nya. Demikianlah kehendak Alloh Subhanahu Wa Ta'ala untuk menguji orang-orang beriman agar membuktikan keimanan mereka di alam nyata.

“Demikianlah apabila Alloh menghen-daki niscaya Alloh akan membinasa-kan mereka tetapi Alloh hendak menguji sebagian kamu dengan sebagian yang lain.” [QS. Muhammad (47): 4]

Turunnya ujian dan kesulitan di hadapan umat ini tidak lain agar lahir para pejuang. Melalui tangan-tangan mereka, Alloh Subhanahu Wa Ta'ala menggebuk dan meng-hinakan musuh-musuh-Nya, musuh-musuh mereka juga.

Saudaraku kaum muslimin.…

Kisah para shahabat menawarkan kita telaga penghilang dahaga dalam dunia perjuangan. Mereka adalah manusia-manusia terpuji yang paling bersegera dalam memenuhi seruan Rabb-nya.

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Alloh ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Alloh….” [QS. at-Tawbah (9): 100]

Ada poin penting dalam ayat di atas yang harus kita renungkan, yaitu:

“…dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik….”

Ini adalah gerbong yang memberikan peluang bagi kita untuk ikut mengisi-nya, sehingga kita pun mendapatkan:

“…Alloh ridha kepada mereka dan me-rekapun ridha kepada Alloh dan Alloh menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalam-nya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya.” [QS. at-Tawbah (9): 100]

Syaikh Rasyid Ridha Rahimahullah berkata:
“Tidak ragu lagi bahwa kebersamaan setiap orang yang beriman dengan para shahabat dalam keridaan Alloh dan pahala adalah sesuai kadar pengikutan mereka dalam hijrah, jika mereka menghadapi situasi yang mengharuskan hijrah, dan serta dalam jihad mereka dengan harta dan jiwa untuk menolong Islam.” (al-Manār: 16/11)

Pertolongan adalah anugerah terindah dan tertinggi, karena bertujuan untuk menjadikan kalimat (agama) Alloh Subhanahu Wa Ta'ala tinggi serta untuk menolong Rasul Salallahu Alaihi Wasalam dan para shahabatnya (Tafsir al-Qāsimiy: 3243/9).
Maka menjadi pejuang adalah puncak kemuliaan sekaligus hadiah Alloh kepada hamba-hamba-Nya yang terpilih, tidak semuanya. Di antara deretan orang mulia tersebut adalah al-anbiyā’ (para nabi). Setiap nabi selalu ada dan berdiri tegak di sampingnya sosok-sosok gagah yang mencintai dan membelanya, serta mati-matian memegang kebenaran dan menyebarkannya.

Rasululloh Salalalhu Alihi Wasalam bersabda:
(( مَا مِنْ نَبِيٍّ بَعَثَهُ اللهُ فِي أُمَّةٍ قَبْلِي، إِلاَّ كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّوْنَ وَأَصْحَابٌ، يَأْخُذُوْنَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُوْنَ بِأَمِرِهِ، ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوْفٌ، يَقُوْلُوْنَ مَا لاَ يَفْعَلُوْنَ، وَيَفْعُلُوْنَ مَا لاَ يُؤْمَرُوْنَ ))
“Tidak ada seorang nabi pun sebelum-ku yang diutus Alloh kecuali selalu ada sosok yang menemani dan membelanya dari umatnya. Mereka senantiasa melaksanakan sunnah dan mematuhi perintah nabinya. Kemudian datang sesudah mereka orang-orang yang me-ngatakan apa yang tidak mereka lakukan, mengerjakan apa yang tidak diperintahkan.” (HR. Muslim)

Alloh Subhanahu Wa Ta'ala menjelaskan dalam al-Qur’an tentang hawāriyyun (penolong) Nabi Isa as yang bersegera menjawab seruan Rabbnya dengan cepat dan sigap ketika:
“…Siapakah yang akan menjadi peno-long-penolongku untuk (menegakkan agama) Alloh?”. Para hawariyyin (sha-habat-shahabat setia) menjawab: “Kamilah penolong-penolong (agama) Alloh, kami beriman kepada Alloh; dan sak-sikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri.” [QS. Āli ’Imrān (3): 52]

Demikian halnya di sisi Nabi kita Salallohu'alaihiwassalam pun berdiri para pemberani yang mencintai beliau Salallohu'alaihiwassalam dari kalangan Muhajirin dan orang-orang mukhlis dari golong-an Anshar yang telah berbaiat untuk me-nolong dīn Alloh Subhanahu Wa Ta'ala. Tak mau ketinggalan, orang-orang yang datang sete-lah mereka.

“Dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman.” [QS. al-Anfāl (8): 74]

Dalam kitab-kitab terdahulu pun telah diceritakan sifat-sifat mereka:
“Muhammad itu adalah utusan Alloh dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama me-reka. Kalian lihat mereka ruku dan sujud mencari karunia Alloh dan keridha-an-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang menge-luarkan tunasnya. Maka tunas itu men-jadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya.” [QS. al-Fath (48): 29]

Alloh Subhanahu Wa Ta'ala telah menjanjikan kepada orang-orang seperti itu dengan keberuntungan dan kemenangan.

“Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolong-nya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang ber-untung.” [QS. al-A’rāf (7): 157]

Saudaraku kaum muslimin….

Zaman yang sedang kita tapaki hari ini butuh sebanyak mungkin pejuang (calon pahlawan). Di setiap medan perjuangan butuh sosok pribadi pahlawan sebagai wasīlah (perantara) turunnya pertolongan. Alloh Subhanahu Wa Ta'ala pun telah menurunkan ayat-Nya, menyeru mereka, di antaranya adalah kita, ya kita semua.

“Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong (agama) Alloh!” [QS. ash-Shaff (61): 14]

Maka jawablah segera seruan-Nya dengan memenuhi syarat-syaratnya. Supaya segera datang pertolongan-Nya. Akan tetapi ada satu hal yang jangan sampai luput dari perhatian, yaitu mengerti apa makna pertolongan. Jangan sampai pertolongan itu hanya sampai di alam perasaan, tidak riil di alam ke-nyataan. Atau menjalankan metode yang tidak sejalan dengan apa yang di-inginkan Rabb semesta alam. Jangan pula kita termasuk dalam apa yang disabdakan Rasululloh Salallahu Alaihi Wasalam:

“Mereka mengatakan apa yang tidak mereka lakukan, mengerjakan apa yang tidak diperintahkan.” (HR. Muslim)

Saudaraku kaum muslimin…

Jangan sampai kita diharamkan dari mendapat kemuliaan ini. Kemuliaan apa sebenarnya yang hendak kita cari? Adapun kalau kita tak mau jadi pejuang, Alloh akan datangkan suatu kaum sebagai pengganti manusia-manusia yang tak mau berjuang.

“Hai orang-orang yang beriman, ba-rangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Alloh akan mendatangkan suatu kaum yang Alloh mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Alloh, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Alloh, diberikan-Nya kepada siapa yang dike-hendaki-Nya dan Alloh Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui.” [QS. al-Mā’idah (5): 54]


Read More......

Pendapat Ulama Tentang Hukum Wanita Berziarah Kubur

|


Dari ibnu Buraidah dari ayahnya berkata,”Rasulullah saw bersabda,’Aku pernah melarang kalian dari berziarah kubur maka ziarahilah.” (HR. Muslim).

Didalam riwayat Abu Daud ditambahkan,”..Sesungguhnya ia adalah peringatan.” Didalam riwayat al Hakim disebutkan,”Ia (Ziarah kubur) melunakkan hati, mengucurkan air mata, maka janganlah berkata kotor.” sedang didalam riwayat Tirmidzi disebutkan,”Maka sesungguhnya ia mengingatkan akherat.” Ia mengatakan,’Hadits Buraidah adalah hadits Hasan Shohih)

Para ulama bersepakat bahwa diperbolehkan bagi kaum laki-laki untuk berziarah kubur. Adapun bagi kaum wanita maka terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama :

1. Haram secara mutlak, baik menimbulkan fitnah, kemudharatan atau tidak, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas berkata,”Rasulullah saw melaknat para wanita yang menziarahi kubur dan menjadikannya masjid dan memberikan penerangan diatasnya.” (HR. Abu Daud)

2. Haram apabila akan menimbulkan fitnah berdasarkan hadits dari Abdullah bin Murroh dari Masruq dari Abdullah dari Nabi saw bersabda,”Bukan dari kami orang yang menampar pipi, menyobek baju dan mencaci dirinya dengan cacian jahiliyah.” (HR. Bukhori)

3. Makruh, berdasarkan hadits dari Ummu ‘Athiyah berkata,”Kami dahulu dilarang untuk mengikuti jenazah, namun hal itu tidak dipastikan kepada kami.” (HR. Bukhori Muslim)

4. Boleh, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari ibnu Buraidah dari ayahnya berkata,”Rasulullah saw bersabda,’Aku pernah melarang kalian dari berziarah kubur maka ziarahilah.” (HR. Muslim).

Kebanyakan ulama mengatakan bahwa ziarah kubur bagi wanita adalah boleh dikarenakan para wanita termasuk didalam keumuman hadits diatas, selama tidak mengundang fitnah.

Pendapat ini dikuatkan dengan hadits Anas bin Malik ra berkata,”Bahwa Rasulullah saw melewati seorang wanita yang sedang menangis di sebuah kuburan. Beliau saw bersabda,’Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah.’
Wanita itu mengatakan,’Sesungguhnya engkau tidaklah ditimpa musibah seperti yang telah menimpaku sehingga engkau tidak mengetahuinya.’ Dikatakan kepada wanita itu,’Sesungguhnya orang ini adalah Nabi.’ Maka wanita itu pun mendatangi Nabi saw dan ia tidak mendapati adanya para penjaga disisi Nabi saw. Wanita itu berkata,’Aku tidak mengenalmu.’ Beliau bersabda,’Sesungguhnya sabar adalah pada saat pertama kali mendapati (musibah itu).” (HR. Bukhori).

Hadits ini menunjukan bahwa nabi saw tidaklah melarang wanita itu duduk di kuburan dan taqrir (pengukuhan) beliau saw adalah hujjah (dalil).

Dan diantara orang yang membolehkannya secara umum bagi laki-laki maupun perempuan adalah Aisyah. Diriwayatkan oleh Hakim dari jalan Ibnu Abi Mulaikah bahwasanya dia pernah melihat Aisyah menziarahi kuburan saudara laki-lakinya, Abdurrahman.”Aisyah ditanya,’Bukankah Nabi saw telah melarang hal ini.’Dia menjawab,’Ya, dahulu beliau saw pernah melarangnya kemudian memerintahkan untuk menziarahinya.” (HR. Baihaqi)-- (Fathul bari juz III hal 180)

Telaah Beberapa Dalil Diatas

Imam Tirmidzi mengatakan,”Hadits Ibnu Abbas diatas yang diapakai sebagai dalil oleh mereka yang mengharamkan wanita berziarah kubur menurut sebagian ulama bahwa hadits itu terjadi sebelum adanya rukhshoh (keringanan) dari Nabi saw untuk ziarah kubur. Tatkala ada rukhshoh maka yang termasuk didalam rukhshoh ini adalah kaum laki-laki dan wanita.” (Aunul Ma’bud juz V hal 41)

Terhadap hadits pelaknatan yang digunakan oleh mereka yang mengharamkan ziarah wanita ke kuburan, maka disebutkan Ibnu Taimiyah bahwa telah datang riwayat dari Nabi saw melalui dua jalan :

1. “Annahu la’ana zuwarootil qubuur; artinya,’Bahwasanya beliau saw telah melaknat para wanita yang berziarah kubur.” dari Abu Hurairoh,”Annan Nabiyya la’ana zaairootil qubuur, artinya,’Bahwa Nabi saw telah melaknat para wanita yang berziarah kubur.” Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Majah, Tirmidzi dan dishohihkan olehnya.

2. Dan dari Ibnu Abbas bahwa ,”Rasulullah saw melaknat para wanita yang menziarahi kubur dan menjadikannya masjid dan memberikan penerangan diatasnya.” (HR. Ahmad, Abu Daud, an Nasa’i, Tirmidzi dan dihasankan olehnya, didalam kitabnya yang lain dishohihkan olehnya serta diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah )
Disebutkan,”Hadits itu telah diriwayatkan dari dua jalan yang berbeda; satu dari Ibnu Abbas dan yang lainnya dari Abu Hurairoh. Orang-orang yang meriwayatkan didalam hadits yang satu bukanlah mereka yang meriwayatkannya pada hadits yang lainnya. Kedua kelompok tersebut tidak saling meriwayatkan dari yang lainnya. Didalam kedua sanadnya tidak ada orang yang diragukan karena berdusta.
esungguhnya pelemahannya hanya dari sisi buruknya hafalan. Dan dalam keadaan seperti ini tetap dianggap sebagai hujjah (dalil) yang tidak bisa diragukan. Ini adalah hasan yang paling baik yang telah disyaratkan oleh Tirmidzi, dia meletakkannya pada hasan dikarenakan banyaknya jalan dan tidak ada orang yang disangsikan didalamnya serta tidak menyimpang atau bertentangan dengan apa yang telah diriwayatkan oleh orang-orang yang tsiqoh (dipercaya).”

Sedangkan pendapat dari mereka yang mengatakan bahwa ziarah wanita ke kuburan adalah makruh, yaitu Ahmad, Syafi’i dan para pengikutnya adalah bahwa hadits tentang laknat itu merupakan dalil terhadap pengharaman sedangkan hadits perizinan—Hadits Aisyah—menghilangkan pengharaman itu, sehingga yang tinggal adalah makruh.
Hal ini dikuatkan oleh Hadits Ummu ‘Athiyah ,”Kami dahulu dilarang untuk mengikuti jenazah, namun hal itu tidak dipastikan kepada kami.” (HR. Bukhori Muslim) Ziarah adalah bagian dari mengikuti jenazah maka kedua-duanya (menziarahi dan mengikuti jenazah) adalah makruh yang tidak diharamkan.

Sebagian dari ulama yang mengatakan makruh, seperti Ishaq bin Rohuyah, mengatakan,”Pelaknatan menggunakan lafazh az Zuwaroot, artinya; para wanita yang banyak berziarah. Maka jika hanya sekali berziarah dalam seumur hidupnya maka ia tidaklah termasuk dalam lafazh itu dan wanita tersebut tidaklah disebut dengan wanit yang sering berziarah. Mereka mengatakan,”Aisyah hanya berziarah sekali sehingga ia tidak disebut dengan wanita yang sering berziarah.” (Fathul ari juz XXIV hal 196 – 198)

Sesungguhnya hadits Anas tidaklah mengukuhkan ziarah wanita itu akan tetapi hanya memerintahkannya untuk bertakwa kepada Allah dengan menjalankan apa-apa yang diperintahkan Allah kepadanya dan meninggalkan apa-apa yang dilarang-Nya.
Secara umum hadits itu adalah pelarangan dari ziarah kubur. Beliau saw bersabda kepada wanita itu,”Bersabarlah.” Dan telah diketahui bahwa kedatangan wanita itu ke kuburan kemudian menangisinya adalah perbuatan meniadakan kesabarannya tatkala dia menolak nasehat dari Rasul saw dikarenakan belum mengenalinya dan Rasulullah saw pun berlalu darinya.

Kemudian tatkala wanita itu mengetahui bahwa yang memerintahkannya adalah Rasulullah saw maka dia pun mendatanginya dan meminta maaf kepadanya karena mengabaikan perintahnya. Jadi adakah dalil didalam hadits itu yang membolehkan ziarah kubur bagi kaum wanita?!

Pelarangan ziarah kubur yang kemudian dibolehkan—didalam Ibnu Buraidah—adalah pada awal-awal islam untuk menjaga keimanan, meniadakan ketergantungan dengan orang-orang yang sudah meninggal serta menutup jalan menuju kemusyrikan yang menjadi pangkalnya adalah mengagungkan dan menyembah kuburan.

Ibnu Abbas mengatakan,”Tatkala keimanan sudah kokoh bersemayam didalam hati mereka (kaum muslimin) dengan terkikisnya kemusyrikan dan terkukuhkannya agama maka mereka diizinkan berziarah kubur untuk menambah keimanan dan mengingatkannya terhadap apa yang telah diciptakan baginya berupa negeri yang kekal (akherat). Perizinan dan pelarangannya pada waktu itu adalah demi kemaslahatan.

Adapun bagi kaum wanita, meskipun terdapat kemaslahatan didalamnya akan tetapi ziarah mereka juga akan menimbulkan kemudharatan yang telah diketahui secara khsuus maupun umum, berupa fitnah bagi orang yang masih hidup atau menyakiti si mayit (karena tangisannya yang berteriak-teriak).

Kemudharatan ini tidaklah bisa dicegah kecuali dengan melarang mereka dari menziarahinya. Dalam hal ini kemudharatannya lebih besar daripada kemaslahatannya yang sedikit bagi mereka. Syari’ah tegak diatas pengharaman suatu perbuatan apabila kemudharatannya lebih kuat daripada kemaslahatannya. Kuatnya kemudharatan dalam permasalahan ini tidaklah tersembunyi maka melarang kaum wanita dari berziarah kubur adalah diantara perbuatan baik dalam syari’ah.“ (Aunul Ma’bud juz V hal 43)

Dengan demikian hukum bagi seorang wanita yang menziarahi kuburan adalah makruh yang tidak diharamkan selama tidak menimbulkan fitnah dan kemudharatan baik bagi diri sendiri seperti; menyingkap auratnya, berteriak-teriak, menangis dengan suara kencang, memukuli diri dan lainnya, ataupun membawa fitnah dan mudharat bagi orang lain, dan apabila hal ini terjadi maka ziarahnya menjadi haram.

Wallahu A’lam


Read More......
Banner 250 x 200
 

©2009 AL-IKHWAH MEDIA | Template Blue by TNB