Seorang sahabat Rasul, menahun ia bertugas sebagai gubernur di Mesir. Bertinggal lama di negeri seberang, tentu membuat dia sangat rindu kampung kelahiran, namun, tugas mulia yang ia emban untuk menjaga keutuhan khilafah islamiyah lebih ia utamakan daripada sekedar pulang dan bersua dengan keluarga. Hingga pada suatu hari yang panas, di atas kerinduan yang memuncak, tersampailah obat penawar baginya, seorang sahabat Rasululloh lainnya, Ubaid datang menjenguknya.
Lama tak bersua, tentu membuat keduanya ingin segera menumpahkan kerinduan masing-masing, hingga kesan penampilan yang pertama kali dilihat pun menjadi bahan perbincangan diantara mereka berdua. Ubaid yang menurut riwayat juga adalah seorang pejabat ternyata terlihat tampak kusut rambutnya. “Kenapa rambutmu berantakan seperti itu, padahal engkau pejabat?” tanya sahabat Rasul itu.
Ubaid menjawab, “Sesungguhnya Rasululloh melarang kita untuk mengurusi rambut setiap hari.”
“Kamu juga tidak pakai terompah?” Tanya sahabat itu kembali
“Bukankah Rasul juga menyuruh kita, untuk sekali-kali jangan pakai terompah?” jawab ubaid lagi…
Saudaraku…
Sepenggal rambut dan sepasang sepatu adalah pesan. Tidak saja untuk sebuah selera penampilan. Tapi juga cita rasa ruhani yang mendalam. Rasululloh, dalam hadits tersebut, yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ahmad dan Nasa’i, ingin mengajarkan kepada kita pilar mendasar tentang prinsip keaslian.
Sejatinya seorang muslim haruslah mengerti tentang prinsip keaslian ini. Sebagaimana pada dasarnya kita diciptakan dengan keaslian fitrah yang luhur. Alloh berfirman dalam surat Al-A’raf: 172:
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Alloh mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.”
Dunia kita saat ini, sungguh merindukan kembali originalitas, keaslian. Manusia yang berperilaku original. Dari hari ke hari rasanya kita makin kenyang disuguhi panorama serba kepalsuan. Dunia yang berlumur gincu, kepura-puraan, dan dusta.
Di negeri ini, kita pantas untuk menggugat keotentikan. Kenapa di sebuah Tanah Air dengan mayoritas kaum muslimin dan penduduknya mengaku beragama, masih juga tumbuh mekar berbagai skandal dan penyimpangan?
Saksikan, bagaimana kebohongan dan kebatilan publik menjadi serba telanjang. Betapa hukum dipermainkan dengan logika hukum sendiri. Politik sekadar siasat, serba penuh dusta dan tipu daya. Berniaga hanya mengabdi pada keserakahan. Penjarahan kekayaan negara terkadang menjadi skandal publik yang penuh permainan agar tak terjerat hukum. Kemudian pada akhirnya hanya ditutup oleh dagelan di panggung politik yang para pemainnya saling tuduh-menuduh, tanpa jelas siapa pelakunya. Racun retorika telah mengemas serba kepalsuan menjadi hindangan publik yang harus diterima, dan seakan halal.
Berbagai penyimpangan moral dan perilaku primitif pun telah menjadi kelaziman umum yang jauh dari rasa malu. Budaya dan interaksi diantara sesama manusia melahirkan eksperimen-eksperimen baru dalam soal keindahan, juga pemaknaan yang sering dipaksakan, atau imajinasi-imajinasi yang liar dan penuh tipu daya. Semua itu mengantarkan manusia dengan cepat atau lambat menuju fase hidup yang menyukai kepalsuan.
Maka, meledaklah artis-artis yang bermodel telanjang yang dibilang keagungan seni. Maka, lahirlah industri-industri paranormal, nabi palsu dan sederet papan-papan reklame yang pada hakikatnya adalah racun yang akan mengantarkan manusia menuju jurang kehancuran fitrahnya.
Begitulah keadaan dunia kita saat ini. Namun sayangnya, ledakan-ledakan kepalsuan itu diiringi oleh sebagian pemuda muslim kita yang latah. Sungguh beban berat yang kita emban untuk mengembalikan mereka ke jalan kemurnian Islam.
Saudaraku…
Sejatinya sebagai seorang muslim, kita dapat menapaki hidup ini dengan berpijak pada keaslian fitrah, islam serta aqidah kita yang mulia.
Sandaran kita berpulang kepada riwayat asal mula kita ada, bahwa manusia diciptakan untuk beribadah kepada Alloh, menyembah, mentaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Sebab hidup ini begitu penuh tanggung jawab. Menuju akhir yang gelap di hari perhitungan. Sementara, amal kita hanya sedikit dan tak jelas apa akan sampai di kadar keridhaan.
vItulah sandaran yang menginspirasi segala macam kesopanan, kepatuhan, bahkan dalam soal selera penampilan. Yang mengajarkan kepada kita dari mana kita memulai titik pertama arah hidup, selera, gaya, ekspresi dan cita-cita. Bahwa kita harus menyembah-Nya, mengikuti aturan-Nya, dan mengerti juga apa intisari dari tujuan Ia menciptakan.
Orang-orang yang benar-benar beriman, lelaki atau perempuannya, mengerti betul fungsi keindahan. Tapi ia tidak menjadikan seluruh umurnya untuk bersolek. Ia tidak menghabiskan seluruh usianya untuk melicinkan rambut, melentikkan bulu mata, atau meronakan air wajah. Ia mengerti, mana batas keindahan dengan kepalsuan. Ia mengerti, mana batas kepatuhan dan ketawadhuan.
Seorang mu’min, laki-laki atau perempuannya, menyadari bahwa ia punya ruang di dalam dirinya untuk selera keindahan. Ia punya kadar aslinya untuk merapikan diri dan berhias. Ia juga mencintai keindahan karena Alloh pun mencintai keindahan. Bahkan ia punya caranya sendiri menempatkan semua cita rasa keindahan, fisik maupun non fisik, sebagai bagian cara yang halal, untuk merawat cintanya kepada pasangan yang halal. Tapi begitu pun ia tak memenuhi seluruh langit jiwanya dengan nafsu berdandan.
Sebagaimana ia sepenuh hati menjiwai, betapa kepalsuan tidak semata soal permak wajah, tapi juga perangai, tindak-tanduk, tutur kata, cara pandang terhadap orang dan juga hobi. itu sebabnya, kepalsuan-kepalsuan perangai, bisa menjerumuskan pelakunya, menjadi penumpuk dusta. Hingga akhirnya semua dusta itu menyeretnya ke dalam neraka. Rasululloh menasehati:
“Sesungguhnya dusta itu bisa menyeret kepada kekejian. Dan kekejian itu akan menyeret pelakunya ke dalam neraka.” (HR. Bukhari)
Barang palsu selalu diburu karena lebih murah dari yang asli. Namun, pada taraf identitas dan harga diri, yang palsu seolah dianggap lebih mahal dan layak dipertahankan. Bahkan repotnya, kepalsuan pada zaman ini justru dijadikan kurikulum kehidupan. Orang diajari untuk berbohong, bila perlu dengan memakai dalil agama.
Kita memang sedang dikepung oleh kepalsuan seperti itu, maka diperlukan cara pandang keimanan yang mampu menembus batas-batas materi. Kita di sini melihat keindahan dunia, tetapi mata hati kita harus melihat jauh ke sana, ke keaslian kampung akhirat sana. Ini memang tidak mudah, karena keaslian terkadang hanya kita pakai di saat kita sulit, tetapi di saat kita senang, kepalsuan kita pertontonkan kembali.
“Maka apabila mereka naik kapal mereka mendoa kepada Alloh dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Alloh menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Alloh), agar mereka mengingkari nikmat yang telah Kami berikan kepada mereka dan agar mereka (hidup) bersenang-senang (dalam kekafiran). Kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatannya).” (QS. Al-Ankabut: 66).
Racun Kepalsuan
Label: Waspada | author: Tim Embun TarbiyahPosts Relacionados:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar