Masih seringkali ada orang yang rela mati demi sesorang atau golongannya, meskipun orang yang dianggap paling istimewa atau golongan itu sudah jelas kesalahannya. Atau juga sering dikatakan sebagai taqlid buta (Tidak ada yang berbuat taqlid melainkan seorang yang fanatik atau dungu), sikap yang terlalu berlebih-lebihan terhadap golongannya tanpa di dasari dengan ilmu. Lepas dari itu semua mari kita renungkan pendapat imam 4 seperti Al-Imam Ahmad, Al-Imam Asy-Syafi’i, Al-Imam Abu Hanifah, dan Al-Imam Malik berikut.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah adalah ulama yang paling banyak mengumpulkan hadits dan berpegang teguh dengan As-Sunnah. Sampai-sampai beliau tidak suka dengan kitab-kitab yang memuat permasalahan tafri’ (membagi-bagi agama menjadi ushul [pokok] dan furu’ [cabang] dan ra’yu [rasio]).
1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku, jangan pula kepada Malik, Syafi’i, Al-Auza’i, atau Ats-Tsauri. Akan tetapi ambilah (agama itu) dari sumber dimana mereka mengambil.”
2. “Pendapat AL-’Auza’i, begitu pula Malik, dan Abu Hanifah seluruhnya hanya pendapat dan sama nilainya di sisiku. Sedangkan hujjah itu terdapat pada atsar.”
3. “Barangsiapa menolak hadits rasulullah shalallahi ‘alaihi wasalam maka dia berada ditepi jurang kehancuran.”
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah
1. “Tidak ada seorang pun melainkan pasti luput darinya satu sunnah rasulullah shalallah ‘alaihi wasalam. Maka seringkali saya katakan, suatu ucapan atau merumuskan suatu kaidah tetapi hal itu bertentangan dengan sunah rasulullah shalallahi ‘alaihi wasalam, maka ucapan yang disabdakan rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam adalah pendapatku.”
2. “Kaum muslimin bersepakat bahwa siapa saja yang jelas baginya sunah rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam maka tidak halal meninggalkannya hanya karena ucapan seseorang.”
3. “Bila kalian mendapati dalam kitabku suatu hal yang menyelisihi sunnah rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam, maka berkatalah dengan sunnah rasulullah dan tinggalkanlah ucapanku!”
4. “Bila telah shahih suatu hadits maka itulah madzhabku”
5. “Engkau lebih mengetahui hadits dan rawi-rawinya dibanding aku, maka bila ada hadits yang shahih beritahulah aku tentang keberadaannya, di Kufah atau Bashrah atau syam hingga aku berpendapat dengan hadits itu bilamana hadits tersebut shahih.”
6. “Setiap permasalahan dimana telah shahih padanya hadits dari rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam menurut ulama pakar hdits namun bertentangan dengan ucapanku, maka aku rujuk darinya dimasa hidupku atau sepeninggalku nanti.”
7. “Jikalau kalian melihatku mengungkapkan suatu pendapat sementara telah shahih hadits dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam yang bertentangan dengannya maka ketahuilah bahwa pendapatku tidak berguna.”
8. “Setiap apa yang aku ucapkan sementara ada hadits shahih dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam bertentangan dengan ucapanku maka hadits tersebut lebih layak diikuti dan janganlah kalian taqlid kepadaku.”
9. “Setiap hadits yang shahih dari Nabi shallahu ‘alaihi wasalam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengar darinya.
Al-Imam Abu Hanifah rahimahullah
1. “Bila telah shahih suatu hadits maka itulah pendapatku”
2. “Tidak halal bagi seorang pun untuk mengambil ucapan kami selama dia belum mengetahui darimana kami mengambil ucapan tersebut.” Dalam riwayat lain: “Haram bagi siapa saja yang tidak mengetahui dalilku untuk berfatwa menggunakan ucapanku.” Ditambahkan dalam riwayat lain: “Karena kami adalah manusia biasa, bisa jadi kami mengatakan demikian di hari ini kemudian kami rujuk darinya di keesokan harinya.”
3. “Jika aku mengatakan suatu ucapan yang bertentangan dengan Kitabullah Ta’ala dan kabar dari Ar-Rasul Shalallahu ‘alaihi wasalam maka tinggalkan ucapanku tersebut.”
AL-Imam Malik bin Anas rahimahullah
1. “Aku hanyalah seorang manusia biasa, terkadang salah dan terkadang benar, maka perhatikanlah pendaptku. Setiap yang sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunnah maka ambilah dan setiap yang tidak sesuai dengan keduanya maka tinggalkanlah!”
2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam yang bisa diambil atau ditinggalkan ucapannya kecuali hanya Nabi Shalallahu ‘alaihi wasalam.”
3. Berkata Ibnu Wahb: “Aku mendengar Imam Malik ditanya tentang hukum menyela-nyela jari kaki ketika wudhu, beliau menjawab, “Hal itu tidak wajib bagi manusia.” Ibnu Wahb melanjutkan ucapannya, “Maka akupun membiarkan beliau hingga manusia di sekeliling beliau mulai berkurang, kemudian aku berkata, “Kami memiliki hadits tentang hal itu.” Imam Malik bertanya, “Apa itu?” Aku pun menjawab, “Telah menceritakan kepada kami Al-Laits bin Sa’ad, Ibnu Lahi’ah, dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al-Mu’afiri dari Abu Abdurrahman Al-Hubully dari AL-Mustaurid bin Syadad Al-Qurasy, bahwa ia berkata. “Aku pernah melihat Rasulullah shalallhu ‘alaihi wasalam menggosok antara jari jemari kakinya dengan kelingking beliau.” lalu beliau (Imam Malik) berkata, “Hadits semacam ini berderajat hasan dan aku belum pernah mendengarnya sama sekali selain saat ini.” Kemudian aku mendengar beliau setelah itu ditanya tentang hal itu, maka beliapun memerintahkan untuk menyela-nyela jari jemari tersebut.”
Demikianlah ucapan-ucapan para imam, semoga Allah subhana wata’ala meridhai mereka. Amiin
[Diambil dari Tuntunan Shalat Nabi, Karya Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Edisi bahasa indonesia terbitan Ash-Shaf Media] [Edisi asliya berjudul Shifatush Shalaati An-Nabiyi Shalallahu 'alaihi wasalam min Al-Tabkbiiri ilaa At-Tasliimi Ka-annaka Taraahaa, Terbitan Maktabah Al-Ma'aarif - Riyadh]
Pernyataan Empat Imam tentang madzhab dan kewajiban mengikuti As-sunnah
Label: Aqidah, Syariat | author: Tim Embun TarbiyahPosts Relacionados:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar