Banner 250 x 200

HUKUM MERIWAYATKAN DAN MENGAMALKAN HADIST-HADIST DHA'IF UNTUK FADHAA-ILUL A'MAL (KEUTAMAAN AMAL) TARGHIB DAN TARHIB DAN LAIN-LAIN

|

bismillah...


Oleh Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat

Dalam membahas masalah ini saya bagi menjadi dua bagian :

PERTAMA

Menjelaskan beberapa kesalahan dan kejahilan dalam memehami perkataan
sebagian ulama tentang mengamalkan hadist dhaif untuk fadhaa-ilul
a'mal :

1. Kebanyakan dari mereka menyangka bahwa masalah mengamalkan
hadist-hadist dhaif untuk fadhaa-ilul a'mal atau targhib dan tarhib
tidak ada khilaf lagi - tentang bolehnya- diantara para ulama. Inilah
persangkaan yang jahil. Padahal , kenyataannya justru sebaliknya.

Yakni telah terjadi khilaf diantara mereka para ulama sebagaimana
diterangkan secara luas di dalam kitab-kitab musthalah . dan menurut
mazhab Imam Malik , Syafi'I , Ahmad bin Hambal , Yahya bin Ma'in,
Abdurahman bin Mahdi , Bukhari , Muslim , Ibnu Abdil Baar , Ibnu Hazm
dan para imam ahli hadist lainnya , mereka semua TIDAK MEMBOLEHKAN
beramal dengan hadist dhaif SECARA MUTLAK meskipun untuk fadhailul
a'mal dan lain-lain. Tidak syak lagi inilah mazhab yang haq. Karena
tidak ada hujjah kecuali hadist-hadist yang telah tsabit dari
Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam . Cukuplah saya turunkan
perkataan Imam Syafi'I :" idza shohhal hadistu fahuwa mazhabiy"
apabila telah sah suatu hadist . maka itulah mazhabku.

2. Mereka memahami bahwa mengamalkan hadist dha'if itu untuk
menetapkan (itsbat) tentang suatu amal. Baik mewajibkan , menyunatkan
(mustahab) , mengharamkan atau memakruhkannya meskipun tidak datang
nash dari Al kitab dan As Sunnah .

Seperti mereka telah menetapkan dengan hadist-hadist dha'if beberapa
macam shalat sunat dan ibadah lainnya yang sama sekali tidak ada dalil
shahih dari As Sunnah secara tafsil (terperinci) yang menerangkan
tentang sunatnya. Kalaupun demikian pemahaman mereka dalam mengamalkan
hadist-hadist dha'if untuk fadhaailul a'mal.

Allahumma ! Memang demikianlah yng selama ini mereka amalkan. Maka,
jelaslah bahwa mereka telah menyalahi ijma ulama sebagaimana
diterangkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Karena barang siapa
yang menetapkan (istbat) tentang sesuatu amal yang tidak ada nashnya
dari al Kitab dan As Sunnah baik secara jumlah (garis besarnya) dan
tafsil atau secara tafsil (rinci) saja, maka sesungguhnya ia telah
membuat syariat yang tidak diizinkan oleh Allah Jalla wa 'Alaa.

Kepada mereka ini , Imam Syafi'I , telah memperingatkan dengan
perkataannya yang masyhur :"man istahsana faqod syaro'a" - barang
siapa yang menganggap baik (istihsan) - yakni tentang suatu amal yang
tidak ada nash dan Sunnah - maka sesungguhnya ia telah membuat syariat
baru !!!! Semoga Allah merahmati Imam Syafi'I yang terkenal dikalangan
salaf sebagai naashirus sunnah (pembela sunnah).

Ketahuilah! Bahwa yang dimaksud oleh sebagian ulama boleh beramal
dengan hadist-hadist dho'if untuk fadhail a'amal atau targhib dan
tarhib , ialah apabila yelah datang nash yang shahih secara tafsil
(rinci) yang menetapkan tentang suatu amal - baik wajib, sunat,haram
atau makruh- kemudian datang hadist-hadist dho'if (yang ringan
dho'ifnya) yang menerangkan tentang keutamaannya (fadha'il a'mal) atau
targhib dan tarhib dengan syarat hadist-hadist tsb tidak sangat dho'if
atau maudhu' (palsu), maka inilah yang dimaksud.

3. Salah faham dengan perkataan Imam Ahmad bin Hambal dan ulama salaf
lainnya yang semakna perkataannya dengan beliau yang menyatakan :

"Apabila kami meriwayatkan dari Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam
tentang halal, haram , sunan (sunat-sunat) dan ahkam, KAMI KERASKAN
(yakni kami periksa dengan ketat) sanad-sanadnya. Dan apabila kami
meriwayatkan dari nabi shalallahu alaihi wa sallam tentang FADHA ILUL
A'MAL dan tidak menyangkut hukum dan tidak marfu' (tidak disandarkan
kepada beliau shalallahuu alaihi wa sallam ) KAMI PERMUDAH di dalam
(memeriksa) sanad-sanadntya. (shahih riwayat Imam Al Khatib al
Bhagdhadi dikitabnya al kifaayah fi ilmir riwaayah hal 134)

Perkataan Imam Ahmad diatas diriwayatkan juga oleh Imam-imam yang lain
(banyak sekali) tetapi tanpa tambahan : dan yang tidak marfu .
Maksudnya : Riwayat-riwayat mauquf (yakni perkataan dan perbuatan
shahabat) atau riwayat-rwayat dari tabi'in dan atha'ut taabi'in.
Kebanyakan dari mereka dalam memahami perkataan Imam Ahmad diatas,
bahwa BELIAU MEMBOLEHKAN mengamalkan hadist-hadist dha'if untuk fadha
ilul a'mal !!

Jelas sekali , pemahaman diatas keliru bila ditinjau dari beberapa
sudut ilmiah, diantaranyaa ialah :" bahwa yang dimaksud oleh Imam
Ahmad bin Hambal dengan tasahul (bermudah-mudah) dalam fadha ilul
a'mal ialah hadist-hadist yang DERAJATNYA HASAN (bukan hadist-hadist
dha'if meskipun ringan kelemahannya). Karena , hadist pada zaman
beliau dan sebelumnya tidak terbagi kecuali menjadi 2 bagian : SHAHIH
dan DHA'IF.

SEDANGKAN HADIST DHA'IF TERBAGI PULA MENJADI 2 BAGIAN

PERTAMA : hadist-hadist dha'if yang ditinggalkan , yakni tidak dapat
diamalkan atau dijadikan hujjah.
Kedua : Hadist-hadist dha'if yang dipakai, yakni dapat diamalkan atau
dijadikan hujjah .
Yang terakhir ini kemudian dimasyhurkan dan ditetapkan sebagai salah
satu bagian dari derajat hadist oleh Imam Tirmidzi dengan istilah
HADIST HASAN. Jadi , Imam Tirmidzi yang PERTAMA KALI membagi derajat
hadist menjadi bagian : SHAHIH , HASAN dan DHA'IF.

Demikianlah penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnul
Qoyyim dan para ulama lainnya.

KEDUA

Menjelaskan kesalahan mereka yang TIDAK PERNAH memenuhi syarat-syarat
yang telah dibuat oleh sebagian ulama dalam mengamalkan hadist dha'if
untuk fadha ilul a'mal atau targhib dan tarhib.
Ketahuilah !! Sesungguhnya ulama-ulama kita yang TELAH MEMBOLEHKAN
beramal dengan hadist-hadist dha'if di atas , telah membuat BEBERAPA
PERSYARATAN yang SANGAT BERAT dan KETAT.

Persayaratan tsb tidak akan dapat dipenuhi kecuali oleh mereka (ulama)
yang membuatnya atau ulama-ulama yang memiliki kemampuan sangat tinggi
dalam ilmu hadistnya (para muhadist).

Dibawah ini saya turunkan sejumlah persyaratan yang telah dibuat oleh
para ulama kita Kemudian , saya iringi dengan beberapa keterangan yang
sangat berfaedah. Insya Allahau ta'ala.

1. Syarat pertama

Hadist tersebut khusus untuk fadhailul amal atau targhib dan tarhib.
Tidak boleh untuk aqidah atau ahkam (spt hukum halal, haram ,wajib,
sunat , makruh) atau tafsir Qur'an. Jadi , seorang yang akan
membawakan hadist-hadist dho'if , terlebih dahulu HARUS MENGETAHUI
mana hadist dha'if yang MASUK bagian fadha ilul a'mal dan mana hadist
dha'if yang masuk bagian aqidah atau ahkam.

Tentu saja persyaratan pertama ini CUKUP BERAT dan tidak sembarang
orang dapat mengetahui perbedaan hadist-hadist dha'if diatas kecuali
mereka YANG BENAR-BENAR AHLI HADIST.

Kenyataannya, kebanyakan dari mereka (khususnya kaum KHUTOBAA'- para
penceramah / khotib) tidak mampu dan telah melanggar persyaratan
pertama ini.

Berapa banyak hadist-hadist dho'if tentang aqidah dan ahkam yang
mereka sebarkan melaului mimbar-mimbar dan tulisan-tulisan.!!!!

2. Syarat kedua

Hadist tersebut TIDAK SANGAT DHOIF apalagi MAUDHU' , BATIL , MUNGKAR
dan Hadist-hadist yang TIDAK ADA ASALNYA.

Yakni, yang boleh dibawakan hanyalah hadist-hadist yang ringan
(kelemahannya). Persyaratan kedua ini LEBIH BERAT dan SULIT
dibandingkan dengan syarat yang pertama. Karena, untuk mengetahui
suatu hadist itu derajatnya SHAHIH , HASAN, DHA'IF ringan , sangat
DHA'IF , dst.

Bukanlah pekerjaan yang mudah sebagaimana telah dimaklumi oleh mereka
yang faham betul dengan ilmu yang mulia ini.

Pekerjaan tsb merupakan yang sangat berat sekali yang hanya dapat
dikerjakan oleh para AHLI HADIST yang benar-benar ahli. Dan
persyaratan kedua inipun DILANGGAR besar-besaran . Berapa banyak
hadist yang batil dan mungkar , sangat dha'if , maudhu' ,dan tidakada
asalnya yg mereka sebarkan dengan lisan maupun tulisan.

Anehnya orang-orang jahil ini kalau dinasehati oleh ahli ilmu dengan
cepat mereka menjawab :"Dibolehkan untuk Fadha ilul a'mal". Lihatlah
betapa sempurnanya kejahilan mereka !!!

3. Syarat ketiga

Hadist tsb TIDAK BOLEH DI-I'TIQODKAN (diyakini) sebagai sabda Nabi
Shalallahu alaihi wa sallam sebab bisa terkena ancaman beliau : yakni
berdusta atas nama beliau. (Dapat dibaca tulisan saya : Ancaman
berdusta atas nama Nabi Shalallahu alaihi wa sallam). Persyaratan
ketiga ini SAMA SEKALI tidak dapat dipenuhi, yang membawakan dan
mendengarkan betul-betul MENYAKINI sebagai sabda Nabi shalallahu
alaihi wa sallam

4. Syarat keempat

Hadist tsb harus mempunyai dasar yang umum dari hadist yang shahih .
Persyaratan yang ke-4 ini selain susah dan lagi-lagi mereka tidak
dapat memenuhinya, juga apabila TELAH ADA hadist yang shahih untuk
apalagi segala macam hadist-hadist yang dha'if.

5. Syarat ke-5

Hadist tsb TIDAK BOLEH DIMASYHURKAN (DIPOPULERKAN). Menurut Imam ibnu
Hajar rahimahulllah , apabila hadist-hadist dha'if itu dipopulerkan,
niscaya akan terkena ancaman berdusta atas nama nabi Shalallahu alaihi
wa sallam.

Lihatlah ! Ramai-ramai mereka menyebarkan dan mempopulerkan
hadist-hadist dha'if , sangat dha'if , bahkan maudhu' sehingga umat
lebih mengenal hadist-hadist tsb daripada hadist shahih. Innalillahi
wa inna ilahi rooji'un !! Alangkah terkenanya mereka dengan ancaman
nabi Shalallahu alaihi wa sallam.

6. Syarat ke-6

Wajib memberikan bayan (PENJELASAN) bahwa hadist tersebut dha'if saat
menyampaikan atau membawakannya. Kalau tidak , niscaya mereka terkena
kepada kepada ancaman menyembunyikan ilmu dan masuk ke dalam ancaman
Nabi Shalallahu alaihi wa sallam :" Ancaman berdusta atas nama Nabi
Shalallahu alaihi wa sallam".

Demikian ketetapan para muhaqiq dari ahli hadist dan ulama ushul
sebagaimana diterangkan oleh Abu Syaamah (baca Tamaamul minnah : Al
Bani hal :32)

Inilah hukum orang yang "diam", tidak menjelaskan hadist-hadist dha'if
yang ia bawakan untuk fadhailul a'mal.
Maka bagaimana dengan orang yang "diam" terhadap riwayat-riwayat yang
bathil , sangat dha'if, atau maudhu untuk fadhailul a'mal ??? Benarlah
para ulama kita - rahimahumullah- bahwa mereka terkena ancaman
menyembunyikan ilmu dan berdusta atas nama nabi shalallahu alaihi wa
sallam.

7. Syarat ke-7

Dalam membawakannya TIDAK BOLEH menggunakan lafadz-lafadz jazm (yang
menetapkan) seperti :"Nabi shalallahu alaihi wa sallam telah bersabda
atau mengerjakan sesuatu atau memerintahkan dan melarang dan lain-lain
yang menunjukkan ketetapan atau kepastian bahwa Nabi Shalallahu alaihi
wa sallam BENAR-BENAR bersabda dst.

Tetapi wajib menggunakan lafadz TAMRIDH (yaitu lafadz yang TIDAK
MENUNJUKKAN sebagai sesuatu ketetapan) , seperti :

Telah diriwayatkan dari Nabi shalallahu alaihi wa sallam dan yang
serupa dengannya dari lafadz tamridh sebagaimana telah dijelskan oleh
imam Nawawi dalam muqoddimah kitabnya al majmu'syarah muhadzdzab
(1/107) dan para ulama lainnya.

Persyaratannya yang terakhir ini , selain mereka tidak memiliki
kemampuan , juga tidak bisa dipakai lagi pada jaman kita sekarang
(dimana ilmu hadist sangat gharib / asing sekali).

Karena kebanyakan dari ahli ilmu sendiri (kecuali ahli hadist)
teristimewa kaum khutobaa / para khatib dan orang awam tidak dapat
membedakan antara lafadz jazm dan tamridh.

Dikutip dari risalah :
Berhati-Hati Dalam Meriwayatkan Hadist Nabi Shallahu Alaihi Wa Sallam
Dan Beberapa Kesalahan Dalam Meriwayatkan Dan Hukum Meriwayatkan Dan
Mengamalkan Hadist-Hadist Dhaif Untuk Fadhaa-Ilul A'mal , Tagrib Dan
Tarhib Dan Lain-Lain

Maraaji' :
1) Al Muhalla (1/2) Ibn Hazm
2) Al-Fash fil-milal wal-ahwaa wan-nihal (2/222) Ibn Hazm , tahqiq
Doktor muhammad Ibrahim Nashr dan Doktor Abdurrahman 'Umairah.
3) Al-Majmu' Syarah Muhadz-dzab (1/101 dan 107) imam Nawawi.
4) Majmu' Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (18/23-25 dan 65-66 dan
249, 1/250-252)
5) A'laamul Muwaqi'in (1/31-32) Ibnul Qayyim.
6) Al-Kifaayah fil-ilmir-riwaayah (hal: 133 dan 134) Imam Al Khatib al
Bhagdadi.
7) Al-Madkhal (hal :29) Imam Hakim.
8) Muqaddimaha Ibnu Shallah (hal : 49) Imam Ibnu Shalah.
9) An-Nukat 'ala Kitabi Ibnu Shalah (2/887-888) Ibnu Hajar
10) Tadribur-raawi (1/298-299) Imam As Suyuthi
11) Al-Qaulul- Badii'fish Shalaati alal Habibisy-Syafi'I (hal :
258-260 akhir kitab) Imam As Shakhaawiy.
12) Qawwwa'idut tahdist (hal :113-121) Al Qaasimi.
13) Taujihun Nazhar ila Ushulil Aatsar (hal 297)
14) Al I'thishom (1/224-231) Imam Syaathibiy , tahqiq 'Allamah Sayyid
Rasyid Ridha.
15) Ikhtishar 'Ulumul Hadist (hal : 90-92) Ibnu Katsir tahqiq Ahmad Syakir.
16) Muqoddimah al Adzkar (hal : 5-6) Imam Nawawi
17) Tamaamul Minnah (hal : 32-40) al Albani
18) Muqoddimah Shahih Jami'us Shaghir (1/44-51) Al Albani
19) Muqoddimah Dho'if Jami'us Shaghir (1/44-51) Al Albani
20) Silsilatul AhaadistAdh Dha'ifah wal Maudhu'ah (3/21-26) al Albani
21) 21. Muqaddimah Shahih Targhib , Al Albani.



0 komentar:

Posting Komentar

Banner 250 x 200
 

©2009 AL-IKHWAH MEDIA | Template Blue by TNB