Banner 250 x 200

Tuntunan Shalat ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adha (Bag 1)

|


Sebentar lagi Idul adha akan tiba, dan pada hari ied, baik iedul fitri maupun iedul adha di sunnahkan untuk mengerjakan sholat ied, penting bagi kaum muslimin untuk mengetahui tuntunan dalam melaksanakan sholat ied agar ibadah kita di terima dan sesuai dengan tuntunan Rasululloh Salallohu'alaihi wassalam...

1. Hukum Shalat Al-’Iedain ( Shalat dua hari Raya )
Keterangan:
Terdapat perbedaan pendapat dikalangan Ulama Islam seputar hukum shalat ‘Iedain , baik itu shala ‘Iedul Fithri ataukah shalat ‘Iedul Adha. Sebagian Ulama berpendapat shalat ‘Iedain adalah termasuk diantara shalat-shalat yang sunnah. Sebagian lainnya berpendapat shalat ‘Iedain fardhu kifayah dan yang lainya berpendapat shalat ‘Iedain shalat yang fardhu ‘ain.

Pendapat yang terakhir ini, adalah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang merupakan madzhab Imam Abu Hanifah, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Bahkan Imam Asy-Syafi’i, sebagaimana didalam Mukhtashar Al-Muzani, menyatakan, “Barang siapa yang diwajibkan baginya shalat jum’at maka wajib pula untuk menghadiri shalat ‘Ied.”

Pendapat ini juga merupakan pendapat Ash-Shan’ani dan Shiddiq Hasan Khan.
Diantara dalil yang menunjukkan wajibnya shalat ‘Iedain:

- Dalam hadist Nabi shallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan perintah beliau kepada kaum wanita, bahkan bagi yang dalam keadaan haidh, untuk menghadiri shalat ‘Iedain. Kemudian bagi wanita yang haidh mundur di bagian belakang shaf wanita disaat shalat didirikan.

- Perintah Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam bagi para sahabat untuk mengerjakan shalat ‘Iedain, dan juga beliau turut mengerjakannya, serta para Khalifah sepeninggal beliau dan kaum muslimin hingga zaman ini. Bahkan tidak ada satupun negeri Islam yang meninggalkan pengerjaan shalat ‘Iedain.

- Demikian pula jika shalat ‘Iedain bertepatan dengan shalat jum’at, maka shalat jum’at menjadi gugur kewajibannya. Dan seperti ini tidaklah mungkin dipahami kecuali bahwa shalat ‘Iedain merupakan shalat yang wajib. Uraiannya akan disebutkan pada pembahasan berikutnya insya Allah.

2. Waktu Pengerjaan Shalat ‘Ied.

Keterangan:
Disenangi untuk menyegerakan pengerjaan shalat ‘ied. Dan yang paling utama, seseorang telah mendatangi mushalla ‘ied disaat matahari baru saja terbit, dan jika dapat dilakukan sebelum itu, maka lebih utama lagi.
Diantara dalil-dalil yang menunjukkan hal tersebut, adalah amalan para sahabat radhiallahu ‘anhum:

1. Atsar Abdullah bin Umar. Berkata Nafi’, “Ibnu Umar biasanya mengerjakan shalat shubuh di masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian beliau berangkat menuju mushalla ‘ied.“ [HR. Ibnu Abi Syaibah (1/ 5609) dan juga Ibnul Mundzir didalam Al-Ausath (4/260) ]

2. Atsar Salamah bin Al-Akwa’. Dari jalan Yazid bin Abu’Ubaid, dia berkata, “Saya telah mengerjakan shalat shubuh bersama Salamah bin Al-Akwa’ di masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian saya keluar bersama beliau ke mushalla dan saya duduk hingga imam datang.”

3. Dan beberapa atsar juga dari ulama Tabi’in, diantaranya atsar Umar bin Abdul Azis, Abu Abdirrahman As-Sulami, Ibrahim An-Nakha’i dan selain mereka.

3. Hukum Shalat ‘Ied bagi Musafir dan bagi orang sakit

Keterangan:
Adapun bagi musafir, maka tidak diwajibkan baginya mengerjakan shalat ‘Iedain. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, setelah menyebutkan tiga pendapat ulama dalam masalah ini, salah satu diantaranya –yaitu pendapat pertama-, Bahwa mukimnya seseorang adalah syarat wajibnya shalat ‘Ied dan juga shalat jum’at. Dan ini merupakan pendapat mayoritas Ulama. Merupakan pendapat didalam madzhab Abu Hanifah, Malik bin Anas dan Ahmad pada riwayat beliau yang paling shahih.

Alasannya: Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak sekalipun mengerjakan shalat dan khutbah ‘Iedain dan jum’at di saat beliau besafar. Tidaklah beliau mengerjakan shalat ‘Ied di Mina, dan sewaktu Futuh Makkah yang pada saat itu terjadi di bulan Ramadhan, hingga datangnya hari ‘Ied, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah mengerjakan shalat ‘Iedul Fithri. Demikian juga para khalifah sepeninggal beliau.

Sedangkan bagi seorang yang sakit, maka dia beroleh udzur tidak menghadiri shalat ‘Iedain di Mushalla ‘Ied, jikalau tidak sanggup untuk bangkit dan berdiri berjalan menuju mushalla ‘ied. Dan bagaimanakah seorang yang sakit dan yang mempunyai udzur mengerjakan shalat pada hari ‘Iedain? Pembahasannya akan disebutkan pada poin yang ketujuh, insya Allah.

4. Hukum Shalat ‘Ied bagi wanita

Keterangan:
Shalat ‘Ied bagi wanita hukumnya wajib.
Sandaran hukumnya:
Imam Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan didalam kitab Shahih mereka berdua dari hadits Ummu ‘Athiyah, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memerintahkan kepada kami mengajak kaum wanita keluar pada hari ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adha, yakni wanita-wanita yang telah berusia lanjut, wanita yang dalam keadaan haidh dan juga gadis belia. Adapun wanita yang dalam keadaan haidh maka mereka diperintahkan untuk memisahkan diri dari mushalla ‘ied, dan menyaksikan kebaikan yang ada pada hari itu serta menyaksikan dakwah kaum muslimin.”
Saya bertanya: “Wahai Rasulullah, salah seorang diantara kami tidak mempunyai jilbab.”

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Saudaranya meminjamkan jilbabnya baginya.”

5. Sunnah mengerjakan Shalat Al-‘Iedain dikerjakan di lapangan terbuka ( Mushalla )

Keterangan:
Termasuk diantara Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah keluar mengerjakan shalat ‘Iedain (‘iedul fithri dan ‘iedul adha) di lapangan terbuka (mushalla), kecuali jika ada udzur.

Sandaran hukumnya :
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri, beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasanya keluar pada hari ‘iedul fithri dan ’iedul adha menuju mushalla. Dan yang pertama kali beliau kerjakan adalah shalat, setelah itu beliau berbalik menghadap kepada kaum muslimin, dimana mereka duduk di shaf-shaf mereka. Lalu beliau menasihati dan memberi wasiat kepada mereka serta memerintahkan kepada mereka .. “
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “ Tidaklah seorangpun dari kaum muslimin mengerjakan shalat ‘ied di masjid kabilahnya dan tidak juga dirumahnya. Sebagaimana mereka tidaklah mengerjakan shalat jum’at di masjid-masjid kabilah.“ (Majmu’ Al-Fatawa 4/480)

Berkata Ibnul Mundzir didalam Al-Ausath (4/257), “Termasuk sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah keluarnya kaum muslimin menuju lapangan ‘ied (mushalla) untuk mengerjakan shalat ‘ied. Apabila sebagian kaum tidak kuasa untuk keluar ke lapangan, maka imam memerintahkan seseorang untuk menjadi imam shalat di masjid bagi kaum yang lemah tersebut.“

6. Hal-hal yang Sunnah sebelum pelaksanaan Shalat ‘Ied

- Mandi sebelum menuju Mushalla ‘Ied

Keterangan:
Disunnahkan untuk mandi sebelum menuju Mushalla ‘Ied.

Sandaran hukumnya:
Atsar dari Abdullah bin ’Umar radhiallahu ‘anhuma, yang diriwayatkan oleh Imam Malik dari Nafi’, beliau berkata, “Ibnu Umar senantiasa mandi pada hari ‘Iedul Fithri sebelum beliau menuju ke mushalla ‘ied.”

Atsar ini juga diriwayatkan oleh Abdurrazzaq didalam Mushannaf beliau, Asy-Syafi’i didalam Al-Umm dan Al-Musnad serta selainnya.

Sebagian ulama bahkan menyatakan adanya konsensus diantara ulama Islam bahwa mandi sebelum menuju mushalla ‘ied adalah perbuatan yang baik dan sunnah. Diantara mereka Ibnu Abdil Barr didalam Al-Istidzkar, An-Nawawi didalam Al-Majmu’ dan Ibnu Rusyd didalam Bidayah Al-Mujtahid.

Adapun waktu mandi ‘Ied, yang paling utama adalah setelah shalat shubuh/setelah waktu fajar. Dikarenakan pengandaian mandi ‘Ied berlaku pada hari dimana dikerjakan shalat ‘Ied. Adapun bagi yang mandi pada malam sebelumnya, maka tidaklah mengapa, jika bertujuan untuk bersegera menuju mushalla ‘Ied pada pagi harinya. Wallahu a’lam.

- Disunnahkan Berhias dan Memakai wangi-wangian sebelum menuju mushalla ‘Ied.

Keterangan:
Berdasarkan atsar dari Abdullah Ibnu Umar, dari jalan Muhammad bin Ishaq dia berkata: Saya bertanya kepada Nafi’, “Apakah yang diperbuat oleh Abdullah bin Umar pada hari ‘Ied ?”
Beliau mengatakan, “Beliau menghadiri shalat jama’ah shubuh bersama imam, kemudian beliau kembali ke rumah beliau,dan mandi sebagaimana beliau mandi janabah, kemudian memakai pakaian terbaik yang beliau miliki, memakai wangi-wangian yang paling harum yang beliau punyai, kemudian barulah setelah itu beliau mendatangi mushalla ‘ied. Beliau duduk hingga imam datang. Apabila imam telah tiba, maka beliau mengerjakan shalat bersama imam. Setelah itu beliau pulang, dan masuk ke dalam masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengerjakan shalat dua raka’at. Kemudian beliau mendatangi rumah beliau.”
Atsar ini diriwayatkan oleh Al-Harits didalam Musnad beliau (sebagaimana di dalam Bughyah Al-Baahits 1/323 dan juga Al-Mathalib Al-‘Aliyah 1/305 ).

- Disunnahkan memakan kurma sebelum keluar mengerjakan shalat ‘Ied Fithri , berbeda dengan shalat ‘Iedul Adha.

Keterangan:
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari didalam Ash-Shahih (no.953), dari hadits Anas, beliau mengatakan, “ Tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beranjak ke mushalla ‘ied pada pagi hari sehingga beliau memakan beberapa butir kurma.”

Dan juga hadits Buraidah, Beliau mengatakan, “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah keluar untuk mengerjakan shalat ‘iedul fitri hingga beliau makan, dan tidaklah beliau makan pada ‘iedul adha hingga beliau mengerjakan shalat –terlebih dahulu.“
( HR. At-Tirmidzi (2/542), Ibnu Majah (1/1756), Ahmad (5/352, 360 ), Al-Hakim (1/294) dan selainnya).

Sanad hadits ini dha’if disebabkan perawi bernama Tsawwab bin ‘Utbah Al-Mahri.
Namun hadits Buraidah diatas dikuatkan oleh beberapa atsar, diantaranya yang diriwayatkan oleh Imam Malik didalam Al-Muwaththa` (432) dari jalan Ibnu Syihab Az-Zuhri, dia mengatakan, Sa’id bin Al-Musayyab mengatakan, “Bahwa kaum muslimin telah diperintahkan untuk makan sebelum beranjak ke mushalla pada ‘iedul fithri.”
Dan juga atsar dari Asy-Sya’bi, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (1/5590), beliau berkata, Husyaim menceritakan kepada kami, dia berkata, Al-Mughirah menceritakan kepada kami dari Asy-Sya’bi, beliau mengatakan, “Termasuk Sunnah jika seseroang makan pada hari ‘iedul fithri sebelum berangkat ke mushalla dan mengakhirkan makan pada ‘iedul adha setelah kembali dari mushalla.”
Demikian semakna dengan kedua atsar tersebut, diriwayatkan juga dari Az-Zuhri.

- Disunnahkan Bertakbir disaat menuju Mushalla ‘Ied dan sunnah mengeraskan takbir

Keterangan:
Bertakbir disaat menuju mushalla ‘Ied adalah amalan yang sunnah, dan telah diriwayatkan dari beberapa sahabat dan tabi’in yang mengamalkan amalan ini. Adapun riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka tidak ada satupun hadits yang shahih.

Diantara atsar-atsar tersebut, adalah atsar Abdullah bin Az-Zubair, Sa’id bin Jubair, Abdurrahman bin Abi Laila, Al-Hakam, Hammad, Urwah bin Az-Zubair dan selainnya.

Disunnahkan pula untuk mengeraskan suara ketika bertakbir menuju mushalla ‘Ied. Allah Ta’ala berfirman:

”Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” ( Al-Baqarah : 185 )

Berkata Ibnu Qudamah (2/226), “Makna menampakkan takbir adalah dengan mengeraskan suara ketika bertakbir.“

Catatan 1:
Adapun hukum asal takbir adalah firman Allah Ta’ala:
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” ( Al-Baqarah : 185 )

Dan firman Allah :
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Dan kedua ayat tersebut berlaku umum serta tidak adanya hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan tata cara serta lafazh takbir tertentu, maka dalam hal ini diperbolehkan bertakbir dengan lafadz takbir manapun tanpa adanya pengingkaran.

Catatan 2:
Dan takbir di mushalla ‘Ied juga berlaku bagi laki-laki dan wanita. Berdasarkan hadits Ummu ‘Athiyah. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Rajab didalam Fathul Bari (9/33)

Catatan 3:
Takbir pada ‘Iedul Adha lebih ditegaskan dari pada ‘Iedul Fithri. Dikarenakan takbir pada ’Iedul adha disyari’atkan pada setiap akhir shalat pada hari ‘Ied dan hari-hari tasyriq ( tiga hari setelah ‘Ied ).
Demikian yang dirajihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ( Al-Fatawa 24/221–222).

- Disunnahkan Berjalan kaki menuju Mushalla ‘Ied

Sandaran hukumnya:
Beberapa hadits yang menerangkan hal ini adalah hadits-hadits yang dha’if, baik karena hafalan perawinya atau karena riwayat mereka yang diperbincangkan oleh ulama hadits. Namun ada sejumlah atsar yang shahih menyebutkan sunnahnya berjalan kaki menuju mushalla ‘ied, diantaranya atsar Al-Hasan bin ‘Ali, Ibrahim An-Nakha’i dan Umar bin Abdul Azis.

Ibnul Mundzir mengatakan, “Berjalan kaki menuju shalat ‘ied lebih baik, dan lebih dekat kepada sifat tawadhu’ (kerendahan hati). Dan tidak mengapa seseorang berkendara menuju mushalla. “ (Al-Ausath 4/264).

At-Tirmidzi setelah menyebutkan hadits ‘Ali (yang dha’if disebabkan riwayat ‘an’anah Abu Ishaq serta Al-Harits yang merupakan perawi yang dha’if ) mengatakan, “Hadist ini diamalkan oleh sebagian besar ulama. Mereka menyukai seseorang keluar menuju mushalla ‘ied sambil berjalan dan makan sesuatu sebelum menuju mushalla ‘ied. Dan disenangi tidak berkendara menuju mushalla kecuali jika ada udzur.” (As-Sunan 2/411).
An-Nawawi mengatakan, “Berjalan kaki lebih utama, namun jika seseorang berkendara ketika pulang dari mushalla maka hal tersebut tidak mengapa. Karena tidak memaksudkan lagi ibadah kepada Allah.“ (Al-Majmu’ 5/10–11)

Dengan demikian, jika seseorang memungkinkan berjalan kaki menuju mushalla ‘ied dan tidak memberatkannya atau menjadikannya terlambat menghadiri shalat ’ied, disunnahkan untuk berjalan kaki. Namun jika sampai menjadikann terlambat menghadiri shalat atau menyulitkannya maka tidak mengapa sambil berkendara. Wallahu a’lam bish-shawab.

- Disunnahkan menyertakan anak-anak untuk menghadiri shalat ‘Ied.

Sandaran hukumnya:
Hadist yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no.977), dari jalan Sufyan dari Abdurrahman bin Abbas, beliau berkata, Saya telah mendengar dari Ibnu Abbas, dimana beliau ditanya, “Apakah anda turut serta menyaksikan shalat ‘ied bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam?” Beliau berkata, “Iya, seandainya bukan karena keberadaan saya yang masih kecil niscaya saya tidak akan menyaksikannya… “
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Bahwa perkataan beliau, “seandainya bukan karena keberadaan saya yang masing kecil, niscaya saya tidak akan menyaksikannya ..“ yaitu menyaksikan nasihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kaum wanita, disebabkan anak kecil masih ditolerir untuk berada disekitar kaum wanita berbeda dengan laki-laki dewasa.“

- Disunnahkan menyelisihi jalan disaat menuju dan disaat kembali dari Mushalla ‘Ied

Sandaran hukumnya:
Hadist yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari hadits Jabir radhiallahu ‘anhu, beliau berkata, “Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi shalat ‘Ied, beliau menyelisihi jalan-berangkatnya- “
Dan juga diriwayatkan dari hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata, “Bahwa apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam keluar mendatangi shalat ‘Ied, beliau pulang melewati jalan selain jalan yang beliau lewati ketika berangkat “
[ HR. At-Tirmidzi (2/541), Ibnu Majah (1/1301), Ahmad (2/338), Al-Hakim (1/296) dan selainnya ].

7. Shalat ‘Ied bagi yang mempunyai udzur tidak dapat menuju Lapangan/Mushalla ‘Ied.

Keterangan:
Telah disinggung sebelumnya, bahwa seorang yang sakit atau mempunyai udzur, diperbolehkan untuk tidak menghadiri mushalla ‘ied.
Berkata Ibnul Mundzir didalam Al-Ausath (4/257), “Termasuk sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah keluarnya kaum muslimin menuju lapangan ‘ied (mushalla) untuk mengerjakan shalat ‘ied. Apabila sebagian kaum tidak kuasa untuk keluar ke lapangan, maka imam memerintahkan seseorang untuk menjadi imam shalat di masjid bagi kaum yang lemah tersebut.“

Sandaran hukumnya:
Hadist Ali bin Abi Thalib, dimana beliau memerintahkan seseorang sebagai ganti imam shalat bagi orang-orang yang tua renta lagi lemah di masjid.
Hadist ini ada beberapa jalan periwayatanya, sebagian sanadnya shahih sebagian lagi sanadnya hasan insya Allah, sebagian lagi ada perbincangan dikalangan ulama.
Namun pada hadits tersebut terdapat perbedaan pada beberapa lafazhnya, ada yang menyebutkan “ imam mengerjakan empat raka’at “dan riwayat lainnya, “ mengerjakan dua raka’at “.

Yang shahih, dari kedua lafadz tersebut adalah, “ imam mengerjakan dua raka’at.“ Dan ini semisal dengan hadits Anas bin Malik, yang menyebutkan bahwa beliau mengerjakan shalat bersama keluarga beliau dua raka’at, jika beliau tertinggal shalat ‘ied bersama imam.


0 komentar:

Posting Komentar

Banner 250 x 200
 

©2009 AL-IKHWAH MEDIA | Template Blue by TNB